WARGASERUJI – Permusuhan berlarut-larut yang terjadi, disebabkan tak ada rasa menjadi satu keluarga. Barangkali, sudah waktunya slogan-slogan di pelosok negeri diubah tidak lagi menggunakan kata “bangsa” dan “negara”. Usulan yang lebih indah dan lembut, dengan istilah Keluarga Besar Indonesia.
Keluarga adalah istilah yang sudah melekat dalam kultur ketimuran. Namun, penetrasi budaya Barat melalui slogan demokrasi dan liberalisasi mengikis sedikit demi sedikit. Termasuk, dalam kehidupan bernegara.
Demokrasi yang mengadopsi sistem pemilihan langsung, mendorong terjadinya sekat dalam masyarakat. Diciptakan oleh orang-orang yang hendak mendapatkan kekuasaan. Segala cara dan segala upaya, mencari celah agar mengalahkan pesaing-pesaingnya.
Memang, demokrasi diharapkan menjadi pencegah munculnya kekuasaan absolut yang biasanya mewujudkan kesewenang-wenangan. Namun, tak bisa disangkal, kenyataannya tetap saja terdapat pihak-pihak yang mampu berkuasa di belakang layar. Artinya, demokrasi tak bisa diharapkan mewujudkan keadilan yang sebenarnya, sehingga perlu ada gerakan moral yang didorong dari segenap elemen masyarakat.
Demokrasi Merusak Kekeluargaan?
Sekat karena demokrasi ini muncul secara kentara ketika pilpres dan pilkada. Hanya karena ingin orang yang didukung terpilih, narasi-narasi bermunculan berlomba-lomba mempengaruhi masyarakat. Narasi yang sengaja atau tidak sengaja merendahkan kompetitornya. Sampai-sampai ke tingkat paling merusak, munculnya label kampret dan cebong di laga kompetisi perebutan kursi presiden.
Tidak semua, tapi banyak. Gara-gara beda dukungan, antar anggota keluarga bermusuhan. Apalagi dengan orang lain, ada yan sampai saling caci hingga saling lapor ke polisi.
Semua kelompok yang bertanding berebut kekuasaan itu, sampai melakukan glorifikasi. Merasa paling Islami, paling Pancasila, paling Nusantara, paling benar, atau paling-paling yang lain. Padahal, saat itulah titik keangkuhan muncul untuk merendahkan kelompok lain. Sadar?
Bahkan, ketidaksukaan terhadap label yang melekat pada kelompok lain, sampai masuk dalam alam bawah sadar. Tak segan kemudian muncul saling usir, saling maki, dan merasa paling berhak hidup di Indonesia.
Narasi Keluarga Besar Indonesia
Memang, dalam Pancasila tidak ada kata “keluarga”. Sila ketiga mengandung kata “persatuan”, namun tidak punya sifat lembut seperti kata keluarga.
Persatuan bisa dilakukan dengan kekuatan. Bahkan, dimanfaatkan oleh rezim untuk menekan sebagian rakyatnya. “Demi persatuan” bisa menjadi slogan yang menakutkan. Yang tidak mau bersatu, akan diusir atau dimusnahkan. Pernah mengalami? Di masa rezim siapa?
Ketakutan akan terjadi perpecahan bangsa seringkali terlalu berlebihan. Was-was mendatangkan kecurigaan. Pihak yang dicurigai tentu tertekan. Akhirnya, malah mendorong saling permusuhan.
Media sosial bukan pemicunya. Ia hanyalah katalis. Ia hanya mempercepat narasi-narasi tersebar. Percuma jika media sosial dijadikan kambing hitam. Indonesia hanya perlu diberi paradigma berbeda untuk tetap dalam persatuan.
Keluarga, Cara Indah Untuk Bersatu
Cara paling lembut dan indah untuk bersatu adalah dengan kata keluarga. Karena ada berbagai komponen yang punya sifat berbeda, dengan privasinya masing-masing, diperluas menjadi keluarga besar. Dengan disebut Keluarga Besar Indonesia, tingkat toleransi meningkat tanpa harus dipaksa-paksa.
Pada kasus peristiwa mahasiswa Papua yang “didatangi” beberapa ormas, menunjukkan perbedaan semangat. Ormas-ormas yang menunjukkan semangat “NKRI Harga Mati” secara tidak sengaja memaksakan orang-orang Papua untuk bersatu. Sedangkan orang-orang Papua membawa semangat “tanah Papua”.
Perbedaan ini bisa disatukan bukan dengan paksaan. Mereka boleh berbeda, namun tak membuat mereka bukan bagian dari keluarga besar. Mereka boleh berteriak lantang, sedikit nakal, tapi tetap dirangkul bukan diusir.
Orang-orang boleh kuat rasa nasionalismenya, tapi harus maklum jika pihak lain hanya punya tipis bahkan tak ada. Bagaimana bisa punya rasa nasionalisme jika tak pernah mendapat keadilan dalam pembangunan?
Narasi keluarga besar selain merangkul, juga bisa mendorong pihak-pihak yang diuntungkan pembangunan selama ini untuk berbagi. Entah dengan materi, atau kesempatan berusaha. Semuanya bertujuan menjadikan negeri adil makmur dan sentosa.
Kasus Ustadz Abdul Somad (UAS) juga tidak harus sampai diperkarakan pengadilan. Dalam keluarga besar, privasi setiap “kamar” perlu dihormati. Kalau tidak, nanti akan saling “intip” hanya agar bisa mencelakakan pihak lain. Apa mau, toleransi beragama Indonesia yang sudah terkenal baik ini rusak?
Narasi Keluarga Besar Indonesia sepertinya menjadi obat bagi bangsa ini yang sedang tercabik-cabik dengan berbagai ancaman perpecahan. Bukan didatangkan, namun dimunculkan kembali karena diyakini telah ada pada jati diri bangsa dan rakyatnya, setelah hampir lenyap karena melintasi masa.