WARGASERUJI – Mendekati pesta demokrasi, aroma politik semakin tercium. Kata politik menjadi berita terhangat saat ini. Berbagai kalangan seolah tidak mau ketinggalan dalam meramaikan suasana perpolitikan. Semakin mendekati pesta demokrasi masyarakat semakin memperjuangkan kandidat yang akan dipilihnya pada pilpres mendatang. Mulai dari kalangan buruh kasar, buruh halus, kalangan guru sampai kalangan elite pejabat. Yang lebih menghebohkan kalangan emak-emak pun tak mau ketinggalan.
Definisi politik menurut Maurice Duverger adalah kekuasaan, kekuatan seluruh jaringan lembaga-lembaga (institusi) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal ini suasana didominasi beberapa orang atas orang lain.
Secara umum, politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Dari definisi politik, maka tidak mengherankan jika penampakan politik identik dengan kekuasaan. Beranjak dari sini, seseorang yang ingin menduduki kursi elite penguasa akan berlomba-lomba untuk meraihnya dan menentukan cara jitu untuk mendapatkannya. Sehingga penghalalan segala cara untuk meraih kekuasaan ataupun mempertahankan kedudukan menjadi legal. Karena negara tidak membatasi cara untuk meraih kursi elite penguasa.
Beragam cara digunakan untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Mulai dari membagi-bagi sembako ataupun benda yang dianggap bermanfaat kepada masyarakat, melakukan perbaikan jalan, mengunjungi masyarakat bahkan menggunakan kekuatan undang-undang untuk mencuri hati rakyat.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mewacanakan penggunaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk menindak para penyebar hoaks. Sebab, dia menilai hoaks yang kerap beredar telah menganggu keamanan dan menakuti-nakuti masyarakat.
Menurutnya hoaks tersebut telah serupa dengan aksi teror, seperti yang terjadi terkait pemilihan presiden (pilpres) atau pemilu 2019. “Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS (tempat pemungutan suara), itu sudah terorisme. Untuk itu maka kami gunakan UU Terorisme,” kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Rabu (20/3). (Katadata.co.id).
Mendengar wacana dari Wiranto Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno langsung merespon. BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menilai Menko Polhukam Wiranto lebay karena menyebut pelaku hoax bisa dijerat menggunakan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. BPN Prabowo-Sandiaga menyebut Wiranto ingin menakut-nakuti rakyat.
“Pertama ya, pernyataan Wiranto itu lebay. Lebay, kelihatan pemerintah dan pendukung Pak Jokowi ini panik sehingga ingin menakut-nakutin rakyat dengan UU Terorisme. Tidak bisa dibandingkan pelaku teroris dengan hoax,” kata juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade, kepada wartawan, Sabtu (23/3/2019).(detiknews).
Semakin mendekati pesta demokrasi suasana perpolitikan semakin memanas. Pasalnya, masa-masa itulah masa penentu siapa yang akan menduduki kursi penguasa. Kepanikan yang melanda pasangan calon menjadi hal yang alami. Harapan-harapan untuk dapat duduk dikursi elite pejabat menjadi hal yang diimpikan. Sehingga para pasangan calon akan semakin getol untuk mencuri hati rakyat.
Kepanikan yang terjadi pada pejabat sebenarnya sesuatu yang alami. Karena kepanikan yang melanda penguasa juga pernah terjadi pada masa era Islam. Hal ini terlihat kepanikan yang terjadi pada Khalifah Umar.
Suatu malam Khalifah Umar dan Aslam mengunjungi kampung terpencil di sekitar Madinah. Ditengah perjalanan Khalifah mendengar tangisan seorang gadis kecil. Setelah dicari tau ternyata gadis kecil itu dan ibunya belum makan dari pagi, sehingga ibunya memasak batu untuk menghentikan tangisan anaknya. Melihat kondisi ini, Khalifah merasa sangat bersalah dan sangat panik. Untuk menebus kesalahannya Khalifah mengambilkan gandum dan memasaknya untuk anak dan ibu yang kelaparan. Selain itu, Khalifah mencukupkan kebutuhan ibu itu.
Dari kisah ini terlihat bahwa kepanikan yang melanda penguasa bukan kepanikan untuk mempertahankan atau meraih kursi kekuasaan. Akan tetapi, kepanikan karena dalam kepemimpinannya ada warga yang kelaparan.
Begitu juga dalam memandang kekuasaan. Dalam Islam, Kekuasaan adalah menegakkan hukum syara’. Sehingga, hubungan penguasa dan umat adalah hubungan saling menguatkan dalam ketaatan dengan menghidupkan budaya amar ma’ruf nahi munkar bukan hubungan pemenang dan oposan.
Hal ini terlihat ketika Khalifah Umar menyelesaikan masalah penggusuran rumah Yahudi tua oleh Gubernur Mesir. Dengan hanya memberikan tulang yang didalamnya berisi printah untuk membangun kembali rumah Yahudi tua. Jika Gubernur tidak mengembalikan tanah itu maka lehernya akan dipenggal.
Begitu jelas aturan Islam, penguasa berkuasa benar-benar memikirkan rakyat baik itu muslim ataupun non muslim. Kepanikan yang melanda penguasa bukan untuk meraih kursi kekuasaan atau mempertahankan kedudukannya agar tida digeser dengan yang lain. Akan tetapi Khalifah panik tatkala abai terhadap rakyat dan melanggar hukum Islam dalam menyelesaikan masalah rakyat.