Lewat tengah malam, saya baca dari group wa yang saya kenal betul sosoknya, Prof. Suteki pengajar di Undip. Nampaknya apa yang disuarakan sama dengan rata-rata pendidik di negeri ini. Guru-guru pengajar moral dan agama, kewalahan dengan kondisi realitas di masyarakat yang bertolak belakang.
Inilah jeritan Prof Suteki yang saya sudah ijin untuk ditulis kembali.
“Coba anda rasakan dengan hati jangan dengan dengkul curhatan senior saya, ahli dibidang ekonomi berikut ini,” demikian Prof. Suteki mengawali tulisannya.
“Sudah sejak zaman Orba saya mendengar, bahwa hukum tidak berkeadilan. Bahwa hukum digunakan untuk menyingkirkan orang yang dimusuhi. Bahwa hukum diterapkan semena-mena. Bahwa hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Bahwa banyak orang melanggar hukum berkeliaran bebas sementara yang direkayasa seolah melanggar hukum meringkuk di penjara. Dan Anda akan makin yakin jika pernah mengalami dijerat oleh hukum. Mereka dengan enteng menyatakan bahwa teori hukum yang dipelajari dalam kuliah tidak sama dengan praktek.
Seolah kuliah tak ada manfaatnya selain sekedar memperoleh gelar. Mereka dengan seenaknya mengesampingkan pendapat para professor bidang hukum yang telah mendidik mereka sehingga menjadi hakim. Sampai titik ini, benar2 sulit untuk dimengerti.
Dan saya sendiri pun pernah “senyumin” mahasiswa saya yang sudah menjadi hakim senior, gara-garanya saya bicara tentang “sikap” idealisme cara berhukum. Dia berkata: “Prof., sebenarnya saya sudah lama mau sampaikan kepada Profesor , bahwa apa yang dikatakan Prof. itu hanya ada di kampus…bla..bla..bla…”. Dan saya pun terperanjat heran. Heran berkecamuk rasa gegana. Kok bisa?
Ya rabb…Ya rabb..
Lalu saya mencoba menelisik apa yang saya konstruksikan sebagai keterangan ahli, sewaktu sidang gugatan Pencabutan Badan Hukum HTI di PTUN Jakarta Timur, atau sebelumnya ketika saya menyampaikan keterangan ahli di MK perihal penerbitan PERPPU ORMAS.
Di kedua persidangan itu atmosfirnya hampir sama seolah muspro sehebat apa pun para Ahli yang dihadirkan oleh lawan pemerintah akan kandas tak berbekas.
Rangkaian kata menjadi kalimat. Untaian kalimat menjadi paragraf seolah lepas bagai lengas jelantah tumpah ruah namun tak berbekas.
Ya rabb…Ya rabb…
Lalu buat apa anak-anakku belajar di kampus hingga lulus dan kadang mampus bila ternyata setelah mereka praktik menjadi “lawyer” semua ilmu yang saya ajarkan di kampus ternyata di dunia praktik layaknya bagai jauh panggang dari api.
Saya mengajarkan kebaikan-kebaikan hukum agar menjadi sarjana hukum dan warga “bangsa” yang “beradab” bukan menjadi warga “bangsat” yang “biadab”. Ternyata benar kuliah di kampus itu kini hanya untuk mencari ijazah, plus jodoh mungkin.
Bagaimana dengan ilmu? Tidak penting, bahkan ada yang tega memelintir Fakultas Hukum menjadi Fakultas Hukum Rimba, FISIP bukan singkatan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tetapi Fakultas Ilmu Santet dan Ilmu Pelet. Fakultas Kedokteran telah berubah menjadi Fakultas Bisnis Penyakit apalagi Fakultas Ekonomika dan Bisnis, sudah lepas liar liberal tanpa aral. Bussines is bussines!
Lalu, akankah keadaan ini akan kita biarkan terus berlangsung hingga kita kembung membusung? Tidak! Harus ada perubahan mendasar di dunia hukum kita. Namun, anehnya ketika ada seseorang berupaya untuk mendorong perubahan dengan sigap, akan disematkan: Terpapar Radikalisme !
Eheemmm…Kau ini bagaimana?”
Itulah jeritan Prof. Suteki, dan jangan-jangan, itu juga yang menjadi jeritan kita, para orang tua yang ketar-ketir dengan perilaku anak-anak zaman milenial.