Selasa malam kemarin di ILC yang terkenal itu. Yang di-host- i bang Karni Ilyas dengan suara khas bindeng nya. Menjadi salah satu malam yang menarik. Sebenarnya topiknya tidak menarik-menarik amat. Wong hanya perbedaan dua kosa kata: ‘Tampang Boyolali vs Sontoloyo’.
Kosakata biasa yang mendadak luar biasa. Meminjam istilah salah satu acara televisi, dua kata itu mendadak ‘dangdut’. Goyang sana goyang sini, tarik sana tarik sini. Aseeekk.
Namun yang jadi menarik bukan karena kosa katanya. Karena orang yang mengucapkannya. Dua-duanya diucapkan oleh calon presiden. Yang satu calon sekaligus petahana, yang satunya lagi calon penantang. Tentu saja sang petahana banyak mendapat dukungan, karena masih memiliki segudang kekuasaan. Para pendukungnya pun memuji habis kata-katanya. Anggota dewan memang sontoloyo, sergah pendukungnya.
Meski disebut sontoloyo namun ternyata anggota dewan tidak ada yang marah besar, tidak ada yang sampai mengeluarkan hardikan dan bahkan memuntahkan kata-kata tak pantas. Tidak kemudian mengerahkan massa pemilihnya untuk mendemo orang yang mengucapkan kata sontoloyo.
Sisi lain tampang Boyolali mendadak tenar karena diviralkan oleh, kata Sujiwo Tejo, dalang nyentrik itu, para kecebong yang sampai menakutkan dia mengkritik penguasa. Gimana ga takut, wong sekali kritik langsung dibully. Yang mbully-pun tidak hanya manusia, ada juga robot tukang bully. Tampang boyolali yang diucapkan dengan kelakar, ditanggapi dengan ‘hasutan’. Seolah mendapat bola muntah untuk menyarangkan ke gawang lawan yang sudah kedodoran.
Tak tanggung-tanggung konon orang nomor satu di Boyolali sampai demo dan berang. Merasa tersinggung disebut tampang Boyolali. Padahal yang demo itu ga pernah disebut tampang Boyolali. Yang disebut tampang Boyolali tentu saja mereka yang berada saat kata-kata itu diucapkan. Bahkan kata-kata itu sebenarnya tak lebih ungkapan untuk menggambarkan ketimpangan sosial yang ada. Ketimpangan yang seolah dipelihara. Biar mudah suatu saat mengadu domba. Biar mudah saat ini digiring kemana saja. Mungkin.
Maka ketika kata-kata sudah digiring para politisi menggusur makna. Kata-kata biasa menjadi ajang saling menjatuhkan dan dijadikan delik laporan untuk saling menikam lawan yang terlena. Saat itulah makna kontestasi demokrasi sudah kehilangan nilai yang sebenarnya. Demokrasi yang memberi ruang kebebasan untuk saling mengkritisi, bercanda dengan kata-kata namun tidak ada tendensi menghina, kehilangan esesnsi sebenarnya.
Kalau kata-kata menjadi senjata ‘pemusnah massal’, menggiring opini masyarakat dengan potongan sesat dan menyesatkan. Akal sehat sudah tidak mendapat tempat. Karena akal sehat telah dikerangkeng dalam jeruji besi kekuatan otot. Akal sehat telah dikerangkeng oleh sesatnya media yang riang gembira menyebar hoax setiap saat dan begitu nyata. Maka saat itulah pasar gelap kedunguan menjadi laris ditelan iblis. Pasar gelap kedunguan seolah mendapat tempatnya yang subur ditengah hoax yang seolah diternakkan dengan gembira. Rocky Gerung telah mengingatkan kita. Ya, di ILC itu. Ditengah orang-orang pintar yang terperosok dalam gelapnya pasar kedunguan. (Sry/jateng)