WARGASERUJI – Salah satu topik yang muncul saat diskusi yang digagas oleh FORPI Sleman, pada hari Kamis (23/5) di salah satu ruangan Setda Sleman, adalah ide kewirausahaan terkait sampah dari salah satu narasumber. Ide menarik ini muncul saat banyaknya komunitas pengelola sampah yang hidup segan mati pun tak mau. Bisakah muncul pengusaha sampah?
Pengusaha selalu berpikir meraup keuntungan. Sedangkan sampah seringkali menjadi beban. Dua aspek yang bertentangan ini cukup menantang untuk dipecahkan. Bisakah keuntungan lebih tinggi dari beban?
Pertama, hitung beban. Sampah sudah menjadi beban ketika mulai dari penimbulnya. Butuh tempat, butuh kerja pemindahan, butuh kerja pengkondisian dan lain-lain. Karena beban, maka dihitung biaya sebagaimana pabrik yang mempekerjakan buruhnya.
Namun, di sebalik beban pasti ada celah peluang. Penimbul sampah tentu mengikuti hukum sampah: tak mau ketempatan sampah. Artinya, masalah bagi dirinya. Selain itu, penimbul sampah pastilah lebih suka praktis, tidak repot harus pilah-pilah sampah. Kalau bisa tidak perlu keluar rumah hanya untuk buang sampah.
Maka, usaha pertama yang muncul: jasa jemput sampah. Ini sudah berjalan, dilakukan oleh beberapa anggota warga dari sebuah lingkungan kampung atau dusun.
Tapi, muncul masalah. Pengusaha jasa jemput sampah perlu tempat sampah sementara sebelum diproses selanjutnya. Muncul usaha berikutnya, tempat penampungan sampah sementara.
Sampai di sini, beban tetap dilimpahkan kepada penimbul sampah. Sedangkan sampahnya sendiri nilai ekonominya masih nol.
Maka, usaha berikutnya jasa pemilahan sampah. Usaha ini tidak dibebankan ke penimbul sampah, melainkan oleh pihak yang ingin memanfaatkan sampah. Contohnya, ada pengusaha pengepul kertas bekas, atau yang lain-lainnya. Namun, apakah setelah dipilah kemudian dijual bisa tetap untung setelah dikurangi beban kerja?
Pengusaha pengguna sampah terpilah, tentu juga tidak mau terlalu membayar mahal. Jika terlalu mahal, akan kesulitan mengambil keuntungan.
Kalau pun pengusaha pengguna sampah terpilah mau membayar mahal, berarti produk yang diolah tinggi nilainya. Contoh nilai tambah yang besar adalah memanfaatkan sampah organik untuk budidaya Magot dan cacing tanah. Selain kandungan protein yang tinggi dari larva magot dan cacing yang didapat, juga tanah bekasnya bisa langsung dipakai sebagai media tanam.
Reabilitas Peluang Usaha Sampah
Sampai di sini, bisa disimpulkan ada beberapa usaha yang muncul dari sampah:
- Usaha jasa pungut sampah
- Usaha penampungan sampah sementara
- Usaha pemilahan sampah
- Usaha pengolah sampah plastik non daur ulang
- Usaha pengolah sampah organik
- Usaha penyalur sampah daur ulang
- Usaha lain yang membutuhkan hasil pengolahan sampah
Karena semua usaha tersebut saling bergantung, maka keberlanjutan atau kontinyuitas menjadi penting. Jika tidak ada market pasar yang menerima produk hasil pengolahan sampah, proses akan berhenti dan sampah akan kembali menumpuk.
Kabupaten Sleman sudah mengawali membuat kebijakan yang dipandang strategis. Melalui Dinas Lingkungan Hidup, Pemkab Sleman membeli pupuk kompos dari pengolahan sampah organik yang dilakukan masyarakat.
Nantinya, bisa lebih ditingkatkan dari sisi regulasi. Misal, beberapa proyek jalan dan taman dari dinas lain wajib menyerap hasil produk pengolahan sampah. Bahkan, bisa berperan seperti Bulog, menampung dan memasarkan dari pengusaha-pengusaha pengolahan sampah.
Selain usaha tingkat mikro dan menengah, bisa pula dikembangluaskan hingga tingkat rumah tangga. Penemuan Kandang Magot “Three in One” oleh Henry Supranto dan Reaktor Cacing karya Puji Hery Sulistyono adalah contoh pengolahan sampah organik di tingkat rumah tangga. Tinggal nanti dipikirkan bagaimana hasil pengolahan itu bisa diserap kemudian dikirimkan ke pengguna yang membutuhkan.
Untuk nilai tambah yang lebih besar lagi, bisa saja ada pengusaha yang mengintegrasikan dengan budidaya, misalnya. Sampah organik hasil pemilahan diterima dan kemudian diolah menggunakan media lalat Magot dan Reaktor Cacing. Hasilnya langsung dipakai sendiri untuk budidaya seperti untuk pakan unggas dan ikan.
Kesimpulannya, sampah bisa menjadi lahan usaha yang menarik. Seperti jargon kewirausahaan, setiap timbul masalah dalam hidup pasti muncul peluang. Atau dalam ayat “Setiap kesukaran, selalu bersama kemudahan”. Tinggal kemudian Pemerintah Kabupaten membuat roadmap bersama stake holder terkait untuk melaksanakannya, sehingga masyarakat bisa menempatkan diri sebagai pengusaha sampah.