Harusnya, rakyat memilih pelayan. Sayangnya, (calon) pelayan dipuja setinggi raja, oleh sebagian. Barangkali hendak mengambil kesempatan, hak-hak “istimewa” pembawaan status si pelayan.
Sebut saja pendukung. Setengahnya sudah menjilat, tapi marah bukan kepalang jika disebut itu.
Pendukung, ada maksud. Namun, wajar jika agar “menang” nantinya atas pendukung “sebelah”. Sementara, sebagian rakyat yang masih merasa sebagai tuan, diam tenang sambil memilih di detik terakhir.
Yang berseru “ganti pelayan”, bisa dari pendukung pelayan yang baru, bisa dari tuan yang tak suka pelayan yang lama. Yang berseru “pelayan tak perlu ganti”, lebih cenderung pendukung, dan kecil kemungkinan karena puas dengan kerja pelayan. Mengapa? Cuma pelayan.
Biasanya, yang bertengkar itu antar pendukung. Sedang si tuan, santai saja. Tapi, kalau sudah berisik, mengganggu juga. Perlu diingatkan.
Masalahnya, pendukung itu sering buta nalar. Diingatkan, dikira pro sebelah. Ya, susah. Tak diingatkan, semakin berisik berantemnya.
Begitulah kalau pilpres dianggap memilih nasib masa depan. Padahal, mungkin hanya sekedar pilih layanan.
Barangkali, perlu ada gerakan, sebut saja “rakyat berdaulat”, yang menggandeng tangan kedua pendukung, dibawa ke tengah, dan ditengahi. Kemudian menunggu waktu lewat hingga April 2019 tanpa berkelahi. Sambil mewanti-wanti, jangan saling benci setelah sang pelayan rakyat sudah terpilih.
Sesudahnya, si tuan bisa suruh-suruh pelayan bekerja dengan baik, dan peringatkan bila tak becus. Demi kemuliaan tuan-tuan.