Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan OTT pada kepala daerah. Kali ini yang terjerat pada OTT, 5/6/2018, adalah Bupati Purbalingga Tasdi (TSD) sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengadaan barang di pemerintahan Kabupaten Purbalingga.
Selama tahun 2018 sudah banyak Kepala Daerah yang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT). Di awal 2018, KPK menangkap Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif dan sejumlah orang di beberapa lokasi.
Pada Februari, KPK menangkap Bupati Jombang Nyono Suharli dalam OTT, Sabtu 3/2/2018. Nyono ditangkap lantaran diduga menerima sejumlah uang suap terkait jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Jombang. Kemudian Bupati Ngada, Marianus Sae ditangkap KPK Minggu (11/2). Diduga menerima suap senilai Rp 4,1 miliar dari Direktur PT Sinar 99 Permai, Wilhelmus Iwan Ulumbu. Suap itu diduga terkait sejumlah proyek di Kabupaten Ngada yang digarap oleh perusahaan Wilhelmus.
Hanya berselang dua malam saja, Bupati Subang, Imas Aryumningsih pada Rabu (14/2) tertangkap dalam OTT KPK. Ia diduga menerima suap sebesar Rp 4,5 miliar untuk memuluskan perizinan pembangunan pabrik. KPK menduga uang itu dipakai Imas sebagai dana kampanye.
KPK RI berkali-kali menyampaikan bahwa pihaknya sangat menyesalkan kejadian yang terus berulang. Wakil Ketua KPK RI Basaria Panjaitan juga mengingatkan seluruh calon kepala daerah agar hati-hati dalam menerima mahar politik. “Terutama petahana, hati-hati. Memutus mata rantai korupsi, intinya harus punya integritas dalam diri calon-calon kepala daerah itu,” tegasnya.
Terlihat OTT tidak membuat kasus korupsi diIndonesia semakin berkurang. Keberadaan KPK belum memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan kasus korupsi. Bahkan sebaliknya semakin hari OTT semakin sering, makin banyak pejabat daerah yang tersandung korupsi. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, kasus korupsi saat ini semakin menggurita. Pada periode periode sebelumnya korupsi terbatas diseputaran istana, namun kini sudah menggurita sampai ke daerah. Angka kerugian negara semakin besar.
Di sini mungkin perlu kembali ada peninjauan sistem yang tengah berjalan. Ada sesuatu yang keliru dengan sistem yang dibentuk, sehingga memberikan peluang atau memberikan dorongan pada seseorang untuk korupsi. Dorongan dan peluang yang ada menyebabkan mata kepala daerah silau, hingga keinginan menilep uang semakin besar.
Mungkin sistem pemilu dengan ongkos mahal yang harus direvisi. Pemilihan langsung kepala daerah kabupaten/kota menyebabkan adanya pertarungan langsung antar kandidat ditengah masyarakat pemilih. Ketidak siapan cakada dengan visi dan program yang reel serta masyarakat yang cendrung pragmatis dalam menentukan pilihan, menuntut cakada haruss menggunakan uang banyak guna bisa memenangkan pemilihan. Kepala daerah yang telah mengeluarkan uang sangat banyak untuk biaya pilkada jadi tergiur mengumpulkan uang sebanyak mungkin ketika melihat ada peluang yang tersedia.
Selain pembenahan sistem, peran lembaga hukum lain perlu ditingkatkan untuk dapat mencegah terjadinya korupsi. Pencegahan inilah yang sangat dibutuhkan agar uang negara tidak raib. Jika kasus korupsi sudah terjadi, sangat sulit untuk mengembalikan sepenuhnya uang yang telah hilang. Pencegahan tidak akan cukup hanya dengan banyaknya OTT, terlihat banyaknya OTT tapi korupsi tetap marak