Setiap melintasi Masjid Nurul Iman di bilangan Kalibaru Timur, Jakarta Pusat, akan nampak seorang sepuh berjualan kacang goreng. Sutarya (85 Tahun), sosok fenomenal itu asli dari Cirebon Timur. Menurut pengakuannya Ia telah berjualan kacang goreng sejak Dai Nipon menyerbu kampung-kampung. Dagangannya yang berharga lima ribu rupiah per bungkus itu, Ia ambil dari seorang Tionghoa.
Di usia senjanya, ia tetap setia memikul dagangannya setiap hari. Ia biasa berjualan di dekat masjid yang sekaligus menjadi tempat ia melaksanakan sholat. Dua anak perempuannya mengikuti suaminya. Entah mengapa ia memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri. Yang jelas ia berupaya tidak membebani orang lain dengan tetap berusaha.
Sosok istimewa kedua adalah seorang penyandang disabilitas yang berjualan di atas kendaraan roda tiganya. Saat melintas di Pasar Johar Baru, Jakarta Pusat, penulis sempat membeli sebungkus tisue darinya seharga tiga belas ribu rupiah. Di atas sepedanya, ia berjualan berbagai keperluan sehari-hari, termasuk pulsa dan rokok yang ia simpan dalam tas-tas kresek.
Dalam keadaan yang serba terbatas jelas ia tak menyerah. Sementara di tempat yang tak jauh dari Tugu Monas, Tugu Proklamasi, atau Istana Negara ini semakin banyak pengamen, pengemis dan peminta-minta. Ia terus berjuang di tengah merosotnya perekonomian dan dicabutnya berbagai subsidi yang tentu saja turut mempengaruhi kesejahteraan orang-orang sepertinya.
Selembar bendera Merah Putih di belakang sepedanya seperti meneriakkan sesuatu. Bahwa di tengah alam kemerdekaan masih ada orang seperti dirinya yang harus berjuang dalam keterbatasan. Ia seperti menagih, jembatan emas kemerdekaan belum juga memberikan kesejahteraan, khususnya bagi yang kurang beruntung sepertinya. Kemungkinan lainnya, ia tetap mencintai negaranya walaupun “hutang proklamasi” belum juga terbayarkan untuk orang sepertinya. Paling tidak ia tak mau menambah masalah bagi pemerintahnya.
Dalam bahasan kebijakan publik, maka urusan kesejahteraan kaum marginal haruslah diintervensi oleh negara. Entah apakah mereka memiliki akses terhadap program seperti BPJS atau sederet kartu-kartu kesejahteraan lainnya. Pilihan mereka untuk bergerak, berupaya dan berihtiar menyadarkan kita akan arti harga diri dan perjuangan sebagai manusia. Sebagaimana fenomena tuna netra berjualan kerupuk ikan tengiri yang juga penulis pernah temui. Mereka tak sudi meminta-minta.