Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata jumud dan kejumudan  menunjukkan sebuah kondisi yang beku, yang statis, dan berkaitan erat dengan perihal kemandekan.
Kata jumud sebenarnya kata serapan yang berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa asalnya, jumud adalah kata yang tidak terikat pada waktu atau masa tertentu, diistilahkan sebagai mashdar dalam kaidah bahasa Arab.
Menurut Muhammad Abduh, jumud adalah bentuk mashdar dari fiâil jamada-yajmudu  yang berarti beku dan menunjukkan kondisi yang awalnya cair dan mengalir seperti air, namun kemudian menjadi beku seperti es.
Ini berarti jumud adalah bentuk kondisi yang didahului oleh sebuah proses. Berarti kondisi jumud tidak tercipta secara ujug-ujug, ada kondisi-kondisi yang menjadi pemicunya, malas mikir misalnya. Dalam artikel-artikel keagamaan, kata jumud seringkali disinggung bersamaan dengan kata taqlid.
Duh, kenapa ya? karena dua kondisi itu bersahabat banget, saling berkontribusi satu sama lain, yang jumud akan mudah taqlid, dan sebaliknya, yang taqlid akan berujung pada sikap jumud, yha begitulah.
Lantas apa jadinya jika kejumudan mewarnai upaya-upaya memahami dan menilai rasa emosi manusia? Think!!!
Cinta dan amarah adalah sedikit dari banyak bentuk ekspresi-ekspresi emosi manusia. Tidak hanya melulu tentang dua hal tersebut. Keduanya pun tidak saling menafikan.
Emosi manusia adalah sesuatu yang dinamis, tidak sekedar tentang keadaan dalam diri seseorang. Dinamis di sini berarti ada stimulus yang secara tidak disadari mengaktifkan skema emosi. Hal itulah yang menyebabkan perubahan ke level kesadaran dimana akhirnya emosi dan pikiran berinteraksi saling mempengaruhi yang kemudian melahirkan perilaku. Itulah kenapa, psikologi dengan mindset sebagai sebuah ilmu yang mempelajari perilaku manusia, akan terlebih dahulu berusaha memahami emosi manusia sebagai sesuatu yang dinamis, sebagai sesuatu yang mendasari sebuah perilaku.
Emosi manusia adalah sesuatu yang sifatnya subjektif. Subjektifitas itulah yang dapat menjadi sebab terbesar dalam menentukan perilaku seseorang. Oleh karenanya, penerimaan seseorang terhadap sesuatu yang terjadi akan berbeda-beda dan dengan berbagai cara yang unik.
Cinta dan amarah, adalah bentuk emosi, bentuk rasa, bukan perilaku. Emosi manusia sangat banyak ragamnya, terlebih lagi jenis perilaku. Satu bentuk emosi bisa terwakili oleh beragam perilaku. Sebuah perilaku pun bisa representasi dari beragam rasa. Itulah manusia. Maka jangan jumud memahaminya.
Saat sedih, ada yang mengekspresikannya dengan tangis dan air mata, namun tak sedikit yang mengekspresikannya dalam bentuk lain, diam misalnya. Menangis pada bayi, adalah perilaku yang merepresentasikan beragam emosi, bahkan termasuk sebagai cara berkomunikasi. Menangis pada orang dewasa, apakah hanya tentang kesedihan? Banyak yang menangis tatkala berbahagia.
Lantas bagaimana dengan cinta dan amarah? Apakah keduanya saling meniadakan? Apakah ragam ekspresi cinta dan amarah hanya satu? Apakah tak ada keterkaitan antara cinta dan amarah? KuyâŠmikir dulu!
Rasulullah juga adalah manusia, yang memiliki ragam corak emosi seperti kita. Apakah Beliau pernah marah? Iya! Apakah kemarahan Beliau menafikan kecintaan Beliau?
Marahnya Rasulullah kepada Shahabatnya, Usamah bin Zaid, apakah menunjukkan tidak ada kecintaan Beliau untuk shahabatnya itu?
Pengingkaran dan penolakan Rasulullah pada permintaan para shahabatnya untuk tidak memotong tangan seorang wanita pencuri dari Bani Makhzum, salah satu suku besar Quraisy, apakah itu karena tidak adanya kecintaan beliau pada para shahabat dan ummatnya?
Tatkala Rasulullah marah dan berdiri menghampiri shahabatnya, Abu Bakar, yang terpancing membalas cacian kepadanya, apakah itu meniadakan kecintaan Rasulullah kepada Ash-Shiddiq?
Atau saat Abu Bakar marah sampai menarik jenggot Umar bin Khattab tatkala sedang bermusyawarah menghadapi peperangan, apakah lantas hal itu menafikan kecintaan Ash-Shiddiq kepada Al Farouq?
Jika seorang ayah yang marah kepada anak perempuannya karena pulang larut malam tanpa adanya alasan yang diperbolehkan, itu bentuk kecintaan atau kebencian pada sang putri?
Seorang suami yang mendiamkan kesalahan istri, tidak menegur, tidak memarahi, tidak memperbaiki, apakah itu bentuk kecintaan? apakah suami yang dayyuts seperti itu mendapat pujian dari Rasulullah?
Seorang ibu yang terpaksa harus mencubit dan memarahi anaknya atas kesalahan yang telah diperbuat, lantas apakah itu membuat cinta dan kasih ibu jadi tak sepanjang masa lagi?
Tatkala ada kejumudan dalam memahami rasa emosi manusia dengan beragam ekspresinya, saat menilai perilaku hanya terdiferensiasi antara cinta dan amarah, ketika berpikir kedua rasa itu saling meniadakan, maka suka dan tidak suka akan menjadi tolak ukur terhadap ekspresi perilaku dalam pengklasifikasian cinta dan amarah.
Efeknya akan lebih merusak ketika seorang pemimpin memiliki mindset kejumudan itu. Segala kritik akan dianggap sebagai bentuk amarah, setiap upaya perbaikan dirasa sebagai bentuk perusakan. Seperti Firaun kepada Musa.
Wallahu aâlam.