SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Ajarkan Mental Pembelajar

Ajarkan Mental Pembelajar

Tiap orangtua tentu berkeinginan memiliki anak yang shalih shalihah, penyejuk mata, mandiri, bertanggungjawab, disiplin, dan siap memimpin diri sendiri dan orang lain. Tiap hari, orangtua pada umumnya akan mengusahakan kesempatan tuk bermunajat padaNya terkait keinginan tersebut. Namun, harapan yg dilantunkan dalam doa seringkali tidak ditopang oleh sikap dan perilaku orangtua kepada anak.

Terjebak oleh perasaan sayang. Iya, mungkin bisa dikatakan seperti itu. Banyak kesalahan orangtua yang terjadi dikarenakan pengejawantahan rasa sayang yang kurang tepat. Pola asuh yang diterapkan cenderung over protektif, sehingga tidak memberikan kesempatan yang luas pada anak untuk belajar dan mengeksplor kehidupan.

Sikap seperti itu membuat sang anak tumbuh menjadi pribadi yang manja. Tak banyak merasakan “masalah” yang menantang dan mengasah kreatifitasnya terkait pemecahan masalah. Harapan kemandirian anak tidak dibarengi treatment nyata. Orangtua menjadi seperti paranoid dengan kemungkinan-kemungkinan masalah yang bisa menimpa anak. Sebenarnya, ketakutan tersebut seringkali timbul karena keenganan orangtua untuk repot.

Saat anak menangis dan merengek menginginkan sesuatu, atas nama rasa sayang maka orangtua dengan segala upaya berusaha memenuhi keinginan tersebut. Meskipun seringkali hal itu bukanlah sebuah kebutuhan yang bersifat urgent. Seringkali hanyalah sebagai pemenuhan dari tuntutan gaya kehidupan kekinian, yang justru bersifat pemborosan.

Ketika melihat anaknya terluka karena sebuah aktifitas, orangtua bisa dengan cepat dan tanggap memberikan pertolongan. Namun disayangkan, seringkali luput untuk memberikan pemahaman moral terkait keamanan dan keselamatan dalam aktifitas tersebut. Orangtua lupa tuk memahamkan pada anak tentang situasi yang menjadi sebab terjadinya sebuah kondisi. Bahkan tak jarang orangtua malah memarahi anak, melarang anak untuk kembali melakukan aktifitas tersebut, serta memberikan ancaman ketika anak mengulanginya. Semua itu dilakukan katanya atas nama rasa sayang.

Ketahuilah, dunia anak adalah dunia bermain. Mereka belajar dengan cara bermain. Mereka mengeksplor pengalaman-pengalaman dengan cara bermain. Mereka mencoba mengenai berbagai macam nilai dan pelajaran hidup melalui bermain.

Dalam interaksi bermainnya tersebut, anak pun mulai mengenal lingkungan sekitar. Mengenal adanya figur lain selain dirinya dan orangtuanya. Mereka mulai belajar menjalani fitrahnya sebagai makhluk sosial. Keberagaman mulai diperkenalkan.

Mau tak mau, anak berkenalan dengan anak lain yang memiliki karakter berbeda dengan dirinya. Disinilah anak mulai belajar tentang konsep penyesuaian sosial. Biarkan mereka mengeksplor segalanya, namun tetap dengan pengawasan yg proporsional dari orangtua. Jangan mengekang mereka. Jangan membatasi interaksi sosial mereka. Jangan memilihkan karakter teman tertentu untuk anak. Namun, tak berarti anak tidak diperkenalkan tentang konsep teman yang baik. Biarkan sang anak melakukan seleksi dengan caranya sendiri tanpa intervensi mendalam dari orangtua.

Interaksi sosial tersebut akan mengajarkan anak tentang rasa bahagia, senang, nyaman, sedih, kecewa, dan marah. Orangtua jangan mudah terprovokasi oleh respon-respon emosi yang dirasakan sang anak. Orangtua harus tega tuk membiarkan sang anak belajar dari pengalaman-pengalaman emosi tersebut. Sesekali, orangtua memberikan petunjuk bagaimana berdamai dengan ragam emosi itu. Jangan justru menjadi pembatas proses pembelajaran itu.

Bebaskan anak tuk menjadi pembelajar. Belajar menjadi seorang problem solver. Jangan memonopoli proses penyelesaian masalah. Jangan jadikan anak menjadi seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah karena semua telah diambil alih oleh orangtua atas nama rasa sayang.

Percayalah, bahwa Sang Maha Kuasa takkan memberikan masalah yang melampaui kemampuan kita. Begitupun pada sang anak, Dia juga berlaku demikian. Orangtua cukup mendampingi dan menjadi motivator bagi anak.

Telah nyata kita jumpai, banyak orang besar dan hebat dalam kehidupan ini yang terbentuk dari tempaan kesulitan hidup. Mereka terbiasa menjadi problem solver sejak usia dini. Akhirnya, mereka pun mampu tampil sebagai pemenang. Pengalaman hidup adalah guru yang terbaik dan kehidupan adalah sekolah yang terbaik pula.

Manusia yang paling mulia pun, yaitu Rasulullah, mempunyai pengalaman hidup yang cukup berat. Beliau tidak sempat mengenal ayahnya. Ketika masih belia pun telah ditinggal wafat oleh ibunya. Dengan kondisi sulit tersebut, Allah mentarbiyahnya, sehingga pada waktunya siap menerima risalah kerasulan. Akhirnya, beliau pun tampil sebagai pemimpin yang paling berpengaruh.

Tiap orangtua wajar tuk berharap memiliki anak dengan karakter pembelajar yang tangguh. Anak yang selalu siap menghadapi tantangan hari esok. Karenanya, berikan kesempatan tersebut, tarbiyahlah mereka. Biarkan mereka mengenali keragaman masalah hidup sesuai tahap perkembangannya. Dampingi mereka tuk belajar menyelesaikan masalah, bukan tuk mengambil alih masalahnya. Insya Allah, mereka akan menjadi sosok dengan mental pembelajar menghadapi setiap problematika dan bertanggungjawab atas setiap keputusan yang dilakukannya.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER