Gerakan sebagian Umat Islam yang diawali dengan gerakan 411, 212 yang dimotori oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI dan Ulama akhirnya memasuki pada dimensi politik praktis. Hal ini terlihat dengan munculnya dukungan ulama dalam Ijtima’ Ulama 1 dan 2 terhadap salah satu kandidat calon presiden dan wakil presiden yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Tentunya hal ini merupakan hak politik semua warga negara dalam menentukan pilihan politiknya untuk mendukung salah satu calon.
Umat Islam akhirnya menjadi terpecah dan dalam kondisi “serba salah” dikarenakan adanya “Ijtima’ Ulama” tersebut antara mengikuti hasil Ijtima’ Ulama atau tidak mengikutinya dengan akibat disebut “melawan” ulama.
Ijtima’ Ulama tersebut akhirnya mau tidak mau ataupun sadar tidak sadar membuat Umat Islam menjadi “tersandera” oleh kepentingan politik sebagian orang yang menggunakan Islam sebagai alat politiknya. Terjadinya pengambilan keputusan oleh orang-orang politik dalam menentukan Calon Wakil Presiden tanpa mengikuti Hasil Ijtima’ Ulama 1 merupakan salah satu gambaran betapa lemahnya kekuatan hukum akan Ijtima’ Ulama tersebut.
Bagaimana mungkin Ijtima’ Ulama dilawan oleh pesertanya?
Bahkan akhirnya diadakanlah Ijtima’ Ulama 2 yang hasilnya mendukung keputusan orang-orang politik dalam menentukan pasangan Capres/Cawapres dalam Pilpres 2019 dengan diikutkan beberapa poin kesempatan dalam Ijtima’ tersebut.
Tercetusnya nama orang dalam sebuah Ijtima’ Ulama tentunya memberikan efek negatif dan juga positif dalam pelaksanaannya. Efek positif adalah dengan adanya kepastian dukungan terhadap salah satu kandidat oleh sebagian ulama.
Adapun efek negatinya adalah tersanderanya ulama dan umat Islam oleh orang yang disebut dalam Ijtima’ Ulama tersebut sehingga segala tindak tanduk akan menggambarkan hasil Ijtima’ Ulama. Bahkan sebagian dari umat Islam melakukan pembenaran secara memaksa akan tindak tanduk tokoh yang disebut dalam Ijtima’ Ulama, maka menjadilah Islam sebagai kendaraan tokoh tersebut.
Bahkan untuk melegitimasi akan Ijtima’ Ulama tersebut dengan mudahnya memberikan titel santri bahkan ulama kepada tokoh tersebut maka semakin tersanderalah umat Islam dalam perpolitikan di Indonesia.
Ijtima’ Ulama selayaknya membuat garis-garis besar dalam menentukan kebijakan dalam politik jauh hari sebelum pesta demokrasi ini tanpa menyebut nama tokoh tertentu.
Dan ketika Ijtima’ Ulama sudah dilaksanakan maka sebaiknya ulama-ulama yang berperan dalam Ijtima’ Ulama tersebut berusaha mengarahkan tokoh-tokoh tersebut agar tetap dalam koridor Islam. Ulama harus mampu mengontrol dan memberikan nasehat dengan sebaik-baiknya terhadap tokoh yang ditunjuk dalam Ijtima’.
Jangan sampai para politikus memanfaatkan Ijtima’ Ulama untuk kepentingan politik dan kekuasaan semata sehingga Umat Islam akan ditinggalkan ketika kekuasaan telah mereka genggam.