PWARGASERUJI – Penerimaan Peserta Didik Baru tahun 2019 menggunakan sistem zonasi. Muncul pertanyaan, sistem zonasi adil buat siapa sebenarnya? Apakah memang benar-benar adil bagi rakyat?
Nanti lebih rumit lagi jika ditanya, rakyat yang mana? Adil menurut siapa?
Secara garis besar, ada dua sistem penerimaan. Pertama, menggunakan seleksi akademis, dan kedua seleksi non akademis. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya. Pertanyaannya, mengapa harus pakai seleksi?
Kalau mau ideal, semua warga negara usia sekolah dijamin pendidikannya oleh negara. Tak usah pusing mencari sekolah. Tak perlu ada seleksi, siapapun mau masuk mana pun. Semua sekolah sama kualitasnya, sama besar biayanya baik negeri maupun swasta. Itu kalau ideal, dan jelas tidak mungkin.
Kenyataannya, walau mungkin sudah mulai dikurangi, tetap ada sekolah favorit dan non favorit. Parahnya, sekolah-sekolah negeri menjadi favorit dan sekolah swasta hanya menjadi pelengkap penderita. Sudah mahal, dinomorduakan lagi.
Bagi anak-anak yang mampu “belajar cepat”, seleksi dengan nilai akademis adalah keuntungan. Mereka tentu cenderung merasakan “keadilan” bila menggunakan sistem seleksi akademis. Apakah benar-benar adil?
Ternyata, anak-anak yang punya nilai akademis tinggi karena disokong penuh oleh keluarganya, walau tidak semua. Mereka beruntung mendapatkan fasilitas yang memadai, termasuk masalah gizi. Artinya, hanya merekalah yang punya kesempatan bersekolah di tempat favorit, meskipun sekolah negeri yang gratis.
Beberapa pendekatan kebijakan PPDB di tahun-tahun lalu sudah mulai memperhatikan kelompok marjinal. Contohnya, kuota beberapa prosen untuk siswa miskin, dan lainnya. Hanya kemudian diperluas dengan pertimbangan-pertimbangan lain.
Sistem zonasi digunakan mungkin hendak menghapus istilah sekolah favorit dan non favorit. Artinya, negara mulai memenuhi kewajiban ke semua warga negara tanpa pandang bulu, merata ke semua. Mungkin juga agar beban negara berkurang karena jalanan tidak banyak macet, anak tak perlu diantar karena dekat.
Bagi yang pintar otaknya, mungkin tidak adil karena tidak bisa memilih sekolah idamannya. Namun bagi kelompok masyarakat lain, sistem zonasi adalah penolong yang didamba-dambakan sejak dulu.
Namun, masih menyisakan satu masalah, yakni terkait sekolah swasta. Di Indonesia, sekolah swasta terkenal dengan biayanya yang mahal. Apalagi, sekolah negeri sudah banyak yang gratis. Kalau sekolah swasta ternyata kualitasnya di bawah sekolah negeri, mereka akan kesulitan mendapatkan siswa. Jika ingin meningkatkan kualitas, tentu butuh biaya yang tidak sedikit.
Kalau demikian, seharusnya sekolah swasta untuk orang yang mampu. Sedangkan sekolah negeri yang gratis, adalah untuk orang yang kurang mampu. Itu baru adil. Tapi, sekali lagi, adil buat siapa?