Berkaca pada Pilkada DKI dan bererapa pilkada ditempat lain,  ternyata menangnya seorang kandidat, tidak berbanding lurus dengan partai politik pengusung. Bahkan tanpa ada partai yang mengusung pun kandidat bisa menang mengalahkan kandidat lain yang diusung partai besar.

Di ibu kota Jakarta, Anis-Sandi yang diusung oleh partai Gerindra, PKS dan PAN dapat mengalahkan Ahok – Jarot yang diusung banyak partai besar ( PDIP, Golkar, Nasdem, PPP dan PKB).  KPU DKI Jakarta mengesahkan hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat provinsi, Minggu 30/4/2017.  Perolehan suara terbanyak pada putaran kedua Pilkada DKI diraih pasangan calon nomor pemilihan tiga, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dengan 57,96 persen suara.  Adapun pasangan nomor pemilihan dua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat memeroleh 42,04 persen suara.

Pemilihan kepala daerah Kota Bontang, melahirkan kepala daerah dari jalur independen. Hasil penghitungan Komisi Pemilihan Umum Kota Bontang 10/11/2015 melalui rekapitulasi formulir C-1 yang sudah menjumlahkan 100 persen suara di TPS menunjukkan pasangan calon independen, Neni Moerniaeni dan Basri Rase, menang. Meski dikeroyok semua partai politik, pasangan dari jalur independen ini berhasil mengumpulkan dukungan 44.301 suara atau 55,85 persen suara pemilih.

Perolehan suara pasangan Neni-Basri ini mengalahkan pasangan calon petahana, Adi Darma-Isro Umarghani, yang diusung semua partai politik di Bontang. Pasangan Adi-Isro hanya berhasil mendulang 35.018 suara atau 44,15 persen.

Pada pilgub Sumatera Barat dipilkada serentak 2015 hanya ada 2 pasang calon.  IP-NA ( Irwan – Nasrul )  diusung oleh Gerindra dan PKS, sedangkan MK-Fauzi diusung oleh banyak partai dan bahkan banyak tokoh Indonesia diperantauan yang ikut memberikan dukungan.  Namun hasilnya sebagaimana dirilis website KPU, IP_NA unggul di hampir semua daerah kabupaten/kota di Indonesia.

Ini sebagai gambaran kepada kita, bahwa masyarakat Indonesia, sekarang sudah lebih rasional dalam berfikir dan tidak mudah terpengaruh dengan berita dan isu murahan.  Masyarakat sudah punya pilhan yang jelas berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang mereka rasakan selama ini.  Mereka memilih tokoh, bukan yang ditokohkan. Masyarakat memilih orang gadang, bukan yang digadang-gadangkan.

Kita lihat sebelum hari pilkada.  Berbagai isu dimunculkan untuk melemahkan pandangan masyarakat terhadap pasangan Anis-Sandi.  Jelang pencoblosan 15 Februari, beredar brosur kampanye hitam yang menyudutkan Cagub-Cawagub DKI Jakarta Anis – Sandi.  Serangan untuk IP-NA ( Irwan – Nasrul ), terbit buku “Indonesia dibawah Irwan Prayitno Tanpa Kemajuan”, isu “Ijazah Palsu Nasrul Abit” dan tulisan seorang tokoh nasional di perantauan yang memojokkan Irwan Prayitno.  Tim sukses Neni-Basri menyayangkan black campaign yang menjatuhkan Nebas. Di mana, ada selebaran atau brosur  menyebutkan soal korupsi, narkoba, serta hutan lindung.  Tapi ternyata masyarakat tidak melihat itu karena mereka telah punya pilihan sendiri.

Dari pilkada yang telah berlalu, terlihat besarnya dukungan partai politik tidak punya korelasi positif dengan kemenangan kandidat.  Besar dan banyaknya partai politik yang mendukung tidak mempunyai pengaruh banyak.  Demikian juga dengan dukungan tokoh.  Penilaian tokoh sering bias, karena banyak tokoh yang tidak lagi netral, tapi berpihak pada salah satu kandidat.

Dari beberapa pilkada langsung yang telah dilakukan, kita lihat masyarakat Indonesia semakin cerdas dan semakin piawai dalam menentukan pilihan.  Mereka butuh perobahan kearah yang lebih baik.  Untuk itu mereka akan pilih tokoh yang dapat memimpin dengan memberikan kesejukan dan keteladanan sebagaimana yang dirindukan selama ini. (Elfizon Amir)

    TINGGALKAN KOMENTAR

    Silakan isi komentar anda
    Masukan Nama Anda