SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Cara Canggih Guru Atasi Emak-emak Milenial

Cara Canggih Guru Atasi Emak-emak Milenial

Ini sekedar usulan. Boleh diterapkan, boleh tidak. Bukan bagian kurikulum juga, dalam artian formal. Kalau secara filosofis, bisa jadi masuk kurikulum juga. Disebut cara canggih, untuk guru, karena melibatkan teknologi. Disebut “emak-emak milenial”, karena pegang ponsel pintar ke mana-mana, Android atau Iphone.

Benar. Dengan memanfaatkan ponsel pintar. Tidak bisa masuk kurikulum, karena hanya bisa diterapkan di daerah perkotaan atau daerah yang sudah terimbas teknologi.

Apa cara “canggih” itu? Apa dengan aplikasi canggih? Tidak. Cukup pakai aplikasi umum, Whatsapp. Atau aplikasi sejenis. Yang “dicanggihkan” itu cara menggunakannya.

Saat ini, sudah banyak sekolah yang memanfaatkan komunikasi via Whatsapp. Namun, masih sebatas seperti penyambung komunikasi antar guru, orangtua dan siswa. Sering berupa grup. Cukup bermanfaat, namun kurang menggigit. Perlu terobosan agar semakin “berbisa”.

Usulannya seperti ini: “Alat Penilaian Guru Terhadap Pembelajaraan Melalui Tanggapan Emak-emak Milenial Melalui Aplikasi Whatsapp”. Wah, bisa jadi judul skripsi ini.

Begini langkahnya. Pertama, atur konsensi bahwa nilai rapor anak didapat salah satunya dari jawaban emak-emaknya. Jadi, lewat grup whatsapp, emak-emak diminta bertanya kepada si anak tentang hal yang dipelajari di sekolah. Satu pertanyaan saja setiap hari, pertanyaan sederhana. Tujuannya, tentu tidak membebani emak-emak dan anaknya.

Kedua, emak-emak melaporkan jawaban si anak di rumah, tidak boleh banyak-banyak, cukup satu paragraf atau bahkan kurang, maksimal lima kalimat. Kalau terlalu banyak, akan menyulitkan emak-emak dan guru yang memeriksanya. Laporan lewat japri, tidak lewat grup tentu saja.

Nilainya tentu tidak kuantitatif. Oleh karena itu, subyek yang menjadi pertanyaan sebaiknya di ranah afektif. Misal, subyek pembelajaran tentang “kerjasama”, bisa ditanyakan ke emak-emak sebagai berikut: “Coba tanyakan ke ananda di rumah, tadi kerjasama apa dengan temannya di sekolah?”

Jawaban emak-emak nanti dicocokkan dengan pembelajaran di kelas (tentu pembelajaran modern, yang penuh dengan aktifitas siswa, bukan aktifitas guru melulu). Jika jawaban anak-anak sesuai, berarti pembelajaran berhasil. Jika tidak sesuai, perlu diteliti sebabnya.

Apa keunggulan cara canggih ini? Pertama, sesuai dengan prinsip Ki Hajar Dewantoro bahwa pendidikan adalah tanggungjawab tiga komponen: guru, orangtua, dan siswa, cara ini sangat praktis memunculkan partisipasi sekaligus menjadi jembatan komunikasi antara ketiganya. Satu tepuk, dua-tiga nyamuk dapat.

Kedua, meringankan guru. Orangtua membantu “menguji” anak (walau kata “menguji” sebaiknya dihindari, karena lebih menekan/mengintimidasi), sehingga memudahkan mengevaluasi pembelajaran.

Ketiga, mendekatkan hubungan orangtua dan anak. Orangtua tidak sekedar menjadi “pengatur”, namun juga belajar menjadi “pendengar” yang baik. Diharapkan, antar orangtua dan anak terjalin saling pengertian melalui dialog-dialog sehat. Tentu, guru perlu memberi batasan atau arahan, jangan sampai cara canggih ini malah menjadi penyulut keributan. Orangtua perlu disadarkan terlebih dahulu, bisa melalui pelatihan keorangtuaan (parenting).

Keempat, sesuai judul tulisan ini, paling tidak mengalihkan ponsel walau sebentar dari tangan emak-emak milenial. Penyakit emak-emak yang berlama-lama bermedsos ria bisa berkurang, atau paling tidak porsi ponselnya sebagian digunakan untuk kepentingan pendidikan anaknya. Begitulah “mengakali mereka”.

Manfaat lain? Banyak. Sila cari sendiri. Kekurangannya? Ada, tentu saja, tak ada yang sempurna. Tapi, tak perlu disebut, nanti mengurangi minat untuk mencoba.

Setuju wahai bapak ibu guru? Silakan dicoba.

*Penulis adalah mantan guru SD, jadi harap maklum.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER