Penikmat film mudah membedakan mana tontonan yang berkualitas dan mana yang tidak. Salah satu yang dilihat, siapa aktor filmnya.
Melihat aktor profesional yang tampil di sebuah film itu seperti melihat “kondisi yang sebenarnya”. Ketika terlihat marah, seperti benar-benar marah. Begitu pula ketika terlihat sedih, takut, senang, bahkan berbohong sekalipun, terlihat nyata. Padahal semua palsu.
Tidak semua orang bisa akting, bahkan termasuk profesi dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Rata-rata orang tidak mampu menyembunyikan ekspresi tubuhnya. Kebanyakan selalu terbaca apakah berpura-pura atau jujur. Apalagi bila orang yang pembawaannya selalu jujur, tak pernah mencoba membohongi orang.
Walau profesi yang sulit, ternyata banyak yang tertarik. Banyak pula yang meniru, entah digunakan sebagai salah satu alat yang mempermudah pekerjaannya atau hanya sekedar memanfaatkan orang lain. Orang yang bekerja sebagai public speaking, tentu sangat tidak profesional bila urusan rumah dibawa-bawa ke ruang publik.
Sampai di sini, sepertinya keterampilan berakting itu diperlukan, dan baik. Tapi, mari dilihat efeknya.
Aktor bermasalah dalam rumah tangga itu biasa. Karena terbiasa akting, maka sulit ditebak kejujurannya. Beda dengan suami istri yang lugu, sangat mudah saling mengerti walau tak banyak bercakap sekalipun, dan biasanya langgeng pernikahannya.
Terampil berakting, maka sangat mudah terpancing menggunakannya. Karena dasar akting adalah membuat kepalsuan, suatu saat akan terbuka dan menghilangkan kepercayaan. Akibatnya fatal. Tak akan ada kerja sama, bahkan hanya saling menjatuhkan.
Bagaimana dengan profesionalitas? Bukankah seorang guru harus tetap bermuka manis di hadapan muridnya padahal baru saja bertengkar dengan anak di rumah, atau seorang penceramah harus seolah-olah tak punya masalah padahal sedang menghadapi gugatan perceraian?
Jawabnya, seberat apapun tuntutan profesionalitas, berakting (berbuat kepalsuan) tak akan memberi manfaat, bahkan berdampak buruk di kemudian hari.
Nabi Muhammad saw, penyandang gelar Al Amin, melekat dalam dirinya sifat shiddiq, yaitu integritas paripurna sebagai manusia yang sangat jujur, sangat jauh dari kepalsuan. Karenanya, bisa dikelilingi para sahabat yang mencintai beliau, yang sangat mudah memahami segala ekspresi suka, duka, marah, atau gembira hanya dari wajah beliau.
Tak ada masalah yang lebih berat dipikul daripada masalah yang dihadapi para Nabi. Mereka memikulnya dengan kejujuran, mengikuti kebenaran. Lawan para Nabi yang paling berat adalah kaum pengguna jalan kepalsuan, tukang akting bin munafik.
Jadi, untuk tetap profesional tapi tidak meninggalkan kejujuran, gunakan nasehat ini :
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Tak perlu menggunakan sederet keterampilan membuat kepalsuan, cukup jadi pribadi yang sadar atas qadar Allah, segala tuntutan profesionalitas dapat mudah diatasi.
Untuk para aktor? Wallahu’Alam.