Oleh: Dr. Kholili Hasib
Mohammed Arkoun (w.2014), seorang pemikir Muslim postmodernis pernah menulis, bahwa pembakuan (tadwin) Mushaf yang dilakukan oleh Sayidina Ustman bin Affan mengandung tujuan dan kepentingan politis sang Khalifah. Hegemoni suku Quraisy, katanya.
Selanjutnya, penyusunan karya-karya turast oleh para ulama’ yang bersumber dari al-Qur’an seperti, tafsir, fikih, kalam, tasawwuf, produk-produk fatwa dan lain-lain tidak jauh dari semangat sang Khalifah ke-tiga itu. Berkepentingan politik kekuasaan. (Mohamed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj “Rethingking Islam Today”, hal. 13-17).
Tuduhan Arkoun tersebut sinis. Sekaligus menegasikan prestasi ilmiah para ulama. Seakan-akan pencapaian ilmu pengetahuan Islam yang termaktub dalam kitab-kitab turats itu tidak orisinil. Tetapi ada “syahwat” politik.
Sepertinya teori Arkoun mengandung pesan tersirat; Buanglah ilmu hasil dari kepentingan politik. Arkoun memiliki teori dekonstruksi turats. Tetapi narasi politik diada-adakan. Seakan nyata. Tujuannya satu: tinggalkan turats!.
Bandingkan dengan statemen seorang tokoh ini; “Kita mohon jangan pakai politik identitas, terutama identitas agama”.
Apa masalah statemen ini? Melucuti pandangan dari kerangka agama. Pelucutan pemikiran keagamaan dari aktivitas politik.
Tapi problemnya lagi adalah; ketika pikiran dilucuti dari agama, maka yang menyelimuti kemudian adalah sekularisme. Netral dari agama itu sekular!.
Pendapat tersebut merupakan salah satu contoh strategi sekularisasi. Mengajak Muslim menjauhkan agama dalam ruang publik, termasuk dalam politik. Sebab, katanya, bila agama (baca: Islam) dan politik berpadu, maka terjadi apa yang dilakukan Sayidina Ustman, dan ajaran para ulama setelahnya.