SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Pemindahan Ibukota dan Nasib Anies Baswedan

Pemindahan Ibukota dan Nasib Anies Baswedan

Sementara di luar Eropa, khususnya setelah era kolonial, membentuk negara setelah merdeka berarti membangun struktur kenegaraan dan birokrasi terlebih dahulu. Lalu diikuti dengan proses “nation building”. Ketika batas teritorial semakin tegas, maka isu ibukota menjadi penting.

“Why move a capital city?” Menurut Schatz ada 3 pandangan terkait pertanyaan “mengapa pindah ibukota?”. Pertama, “Authoritarianism and Authoritarian Preference”. Hal ini terkait dengan keangkuhan pemimpin suatu negara, yang pendapatnya di luar akal sehat atau disebut “against common sense, popular opposition, and the advice of wiser policy-makers”.

Kedua adalah alasan “rational-technical”. Alasan ini adalah alasan yang umumnya diberikan pemerintah seperti menumbuhkan pembangunan wilayah dan efiensi administrasi negara.

Ketiga adalah ” the political geography nation and state building”. State building maksud Schatz adalah “I mean the effort to undermine alternative, rival power bases and develop
viable institutions”. Artinya negara dimaksudkan untuk menjadi institusi supermasi yang tidak boleh ditandingi institusi lainnya. sedangkan nation building maksudnya “I mean the effort to secure the loyalty of broad populations inhabiting the territory represented by the state”. Artinya membangun loyalitas rakyat.

State Building ini dilakukan dengan “Building the state via patronage, symbolic state building & controling cultural diversity”.

Schatz yang melakukan studi kasus atas Kazakhstan yang memindahkan ibukota dari Almity ke Astana. Ia menemukan beberapa hal;

  1. Adanya konsolidasi kekuasaan Nursultan, sang Presiden, semisal adanya marginalisasi birokrasi lama yang berorientasi eks Uni Soviet dan membangun sistem patron-client baru berbasis kepentingan ekonomi,
  2. Menempatkan Kazakhstan sebagai bangsa Eurasia, ketimbang Kazak atau Rusia.

Pemikir lainnya, Vadim Rossman, seorang Professor berkebangsaan Russia, pengarang buku “Capital Cities: Varieties and Patterns of Development and Relocation”, dalam citylab.com, mengetengahkan proses pindah ibukota akan berlangsung baik jika lokasi baru memberikan keseimbangan dan inklusif pada sebanyak-banyaknya level terkait “territorial, economic, ethnic & religious”.

Kota baru juga jangan diharapkan langsung berfungsi. Sedikitnya butuh satu abad untuk melihat ibukota baru sukses, seperti Washington D.C.

Misteri Pemindahan Ibukota

Pemindahan ibukota adalah pekerjaan besar dan sakral. Jokowi sudah mengumumkan permintaan ijin ke DPR RI pindah ibukota dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus lalu.

Dalam pidato diistana beberapa hari lalu, Jokowi juga mengumumkan lokasi baru ibukota Indonesia, yakni di Kutai Kartanegara dan Penajem Paser Utara, Kaltim.

Mengapa Jokowi tidak memasukkan agenda besar negara ini dalam NAWACITA? sebagai acuan gagasan besarnya selama periode 2014-2019. Anehnya juga selama debat pilpres 2019 juga Jokowi tidak memasukkan agenda pindah ibukota dalam narasi besarnya.

Jika melihat alasan standar pemindahan ibukota yang dikeluarkan pemerintahan, seperti kata Schatz ulasan di atas, itu merupakan alasan teknis rasional di mana beban Jakarta sudah tidak mampu lagi menopang keberadaan ibukota.

Pindahnya ibukota juga akan menjadikan adanya pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa yakni Kalimantan Timur, dengan investasi awal lebih kurang Rp400 triliun.

Pertanyaannya adalah, apakah langkah sampul Jokowi ini sudah ada sejak 2014?

Merujuk dibuangnya Andrinof dari posisi menteri PPN/Bappenas (dimana Andrinof dan pemikir utamanya Dr. Jehansyah Sirgar dalam visi 2035 yang selalu berteriak pindah ibukota), memperlihatkan tidak mungkin Jokowi menyimpan ide tersebut saat itu. Bahkan, Jokowi kala itu masih meyakinkan rakyat Indonesia bahwa urusan Jakarta akan mudah dibangun setelah dia menjadi Presiden.

Kemungkinan besar Jokowi menemukan ide pindah ibukota lebih tepat jika dikaitkan dengan kekalahan sekutu Jokowi, Ahok dalam pilkada DKI. Lalu, tindakan Gubernur Anies memberhentikan reklamasi teluk Jakarta, sebuah skala bisnis ribuan triliun, tidak sejalan dengan pemerintahan Jokowi yang ingin hal itu terus berlangsung.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER