WARGASERUJI – Taman Pendidikan Al Quran (TPA) telah merebak ke seluruh pelosok negeri. Semangat belajar membaca Al Quran ini sesuatu yang positif. Namun, karena keadaan, muncul berbagai model TPA sesuai sumber daya yang ada.
Beberapa model berikut ini diuraikan menurut pengamatan dan pengalaman penulis.
1. Semi Formal
Maksud semi formal, mirip dengan sekolah formal. Ada bangku-bangku, ada ruang kelas. Biasanya, TPA ini menggunakan fasilitas ruang kelas sekolah formal.
Bedanya dengan sekolah formal, TPA ini hanya berlangsung maksimal 1 jam per hari. Dalam satu ruang kelas, maksimal 30 anak.
Kegiatan tiap harinya sudah terjadwal dan tertata. Sebelum dimulai, diisi dulu dengan materi seperti hafalan doa-doa yang dilakukan secara klasikal, sekitar 10 menit.
Setelah pembuka, selanjutnya bimbingan baca Iqro’ yang disimak langsung oleh ustadz. Agar semua terlayani, maka setiap ustadz hanya maksimal membimbing 5 santri. Berarti, setiap santri mendapat jatah paling tidak 8 menit.
Selesai bimbingan baca Iqro’, diakhiri dengan penutup. Sama seperti pembuka, diisi dengan materi klasikal seperti hafalan, menyanyi, dan doa.
Model semi formal ini cocok untuk santri yang umurnya tidak terpaut jauh. Biasanya, santri datang dari berbagai tempat, bukan orang lokal.
Santri di model TPA seperti ini biasanya ditarik biaya. Tujuannya, agar orangtua lebih memperhatikan kehadiran anaknya.
Jadi, dapat disimpulkan, TPA semi formal seperti ini membutuhkan :
- Ustadz yang cukup (satu kelas harus ada 5 ustadz)
- Ruang kelas
- Administrasi Kelas
2. Model TPA Berbasis Ustadz
Kalau ustadznya tidak banyak, tapi militan dan sangat bisa diandalkan, TPA bisa bermodel berbasis ustadz. Sudah banyak contohnya guru-guru ngaji yang sangat telaten mengajar ngaji anak-anak, di masjid, di musholla atau di rumah.
Model berbasis ustadz ini tidak pakai klasikal, kecuali saat-saat tertentu. Santri datang dan pergi bergantian. Ustadznya yang tetap berada di tempat. Makanya, biasanya model ini diselenggarakan di rumah ustadz, atau masjid dan musholla yang dekat dengan rumah ustadz.
3. TPA Model Pengajian
TPA model ini bentuknya seperti pengajian di masjid atau musholla. Santrinya beragam sesuai komunitas sekitar masjid atau musholla.
Model jenis inilah yang paling banyak. Namun, model ini paling rentan pasang surut. Kalau sedang semangat, bisa ramai santrinya. Tapi, kalau penggeraknya loyo, biasanya hanya apa adanya.
Beberapa masjid yang terlihat cukup berhasil, pada generasi tertentu menjadi surut. Utamanya, model TPA seperti ini bergantung kepada anak-anak mudanya. Ketika suatu saat penggeraknya pergi, TPA bisa lesu bahkan mati suri.
Ada beberapa masjid yang mampu meregenerasi aktifis TPA. Namun, itu juga tidak bertahan lama. Harus ada strategi pengadaan sumber daya manusia yang terus berlanjut.
Contoh kasus di beberapa masjid yang dekat dengan kampus, dibangun asrama mahasiswa dengan tarif murah atau bahkan gratis. Namun, mahasiswa wajib ikut serta dalam pengelolaan TPA. Keberlanjutan sumberdaya manusia inilah yang membuat model TPA berbasis pengajian selalu aktif.
4. TPA Model Ustadzah Emak-emak
Terakhir, TPA model ustadzah emak-emak. Kelebihan TPA ini adalah konsistensi. Hampir mirip dengan TPA berbasis ustadz, dan hampir mirip model TPA berbasis pengajian.
Intinya, para emak-emak super ini membagi beban mengajar TPA, di masjid atau musholla. Memang, perlu ada yang ditunjuk sebagai pengelola, yang bertugas mengatur jadwal dan lain-lain, namun TPA akan konsisten berjalan asal emak-emak ini selalu datang.
Kelemahannya tentu ada, dan ini muncul karena kelebihannya juga. Konsistensi itu kekuatan dan ketahanan untuk melakukan sesuatu secara monoton. Karena itu, pasti mengorbankan kreatifitas.
Kalau orang kreatif, biasanya cepat bosan. Cepat pula mundur, dan pasti banyak kesibukan. Karena itu, model ini akan bagus apabila orang yang kreatif ditempatkan sebagai pengelola, bukan pelaku.
—000—
Masih banyak model-model pengelolaan TPA, namun sebagian besar hampir terwakili oleh empat macam model di atas. Tinggal model TPA yang bagaimana yang paling sesuai dengan lingkungan.
Perlu diperhatikan, menyelenggarakan TPA ini punya faktor risiko kegagalan cukup tinggi. Sebab utamanya tentu karena sangat bergantung kepada sumber daya manusianya.
Maka, penting untuk diperhatikan mengenai masalah penghargaan, kebersamaan, pengertian dan toleransi. Sebab, hampir semua model TPA hanya mengandalkan relawan, bukan pekerja profesional.