SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Mencipta Firaun Baru

Mencipta Firaun Baru

WARGASERUJI – Zaman ini tak ada “Firaun”. Adanya ejek-mengejek, hina menghina. Bagus. Karena memang tak ada yang betul-betul bagus. Hina itu bawaan makhluk. Apa mungkin bisa mencipta Firaun baru ketika semua sadar tak ada yang bebas dari keburukan?

Tapi walau sepertinya mencipta Firaun baru itu mustahil, membuat seseorang atau sesuatu menjadi mirip Firaun itu banyak. Ambil contoh, kepala suku. Kebetulan, kondisi suku sedang makmur. Para penduduk suku tentu suka. Kepala suku disanjung-sanjung.

Kepala suku bisa jadi mirip Firaun ketika membenarkan sanjungan-sanjungan yang datang tanpa henti. Setelah beberapa masa berlalu, sanjungan sudah menjadi hal yang biasa.

Saat kemudian datang pernyataan yang berlawanan dengan sanjungan, walau itu benar, bisa saja tersinggung dan marah. Ini tanda awal sifat Firaun ada dalam diri si kepala suku.

Sosok Firaun di Mesir itu sendiri merasa dirinya pemegang kekuasaan di muka bumi, karena setiap hari apa yang dikehendaki selalu bisa terlaksana. Lingkaran kekuasaan Firaun dimanfaatkan orang-orang terdalam untuk menyanjung-nyanjung di depan sekaligus menindas di belakang. Hampir tak ada yang berani tampil menyetarakan diri dengan Firaun.

Ketika Nabi Musa memberi pernyataan tentang hal yang sesungguhnya, bahwa Firaun bukan penguasa mutlak, maka seperti hendak meruntuhkan kemuliaan Firaun yang terlanjur dibangun dengan sanjungan-sanjungan para pengikutnya.

Siapa Mirip Firaun Zaman Sekarang

Tak mesti harus orang. Tak mesti harus bukan orang Islam.

Jokowi tak akan jadi Firaun. Banyak orang yang mengkritik, termasuk para anggota DPR. Prabowo juga tidak. Para konstestan pada pilpres 2019 terbukti sulit jadi Firaun-nya Indonesia. Caci maki sudah betebaran untuk keduanya.

Kalau yang mirip jadi Firaun, skalanya bisa lebih kecil. Skala golongan misalnya. Seseorang yang disanjung-sanjung dalam golongannya, bisa jadi Firaun. Contoh, Lia Eden. Sampai dirinya mengaku menjadi Tuhan.

Bahkan, bisa disematkan ke golongan itu sendiri, bukan orang atau pemimpin yang ada dalam golongan. Yang disanjung-sanjung golongannya, terus-menerus hingga dianggap golongannya itu kebenaran yang sesungguhnya. Contoh, Syiah.

Menepis Sifat Firaun

Islam itu lawan dari sifat Firaun. Berislam dengan benar, berarti menjauh dari sifat Firaun. Karena, memasrahkan diri bermakna menolak sanjungan. Sanjungan hanya milik Tuhan.

Kalau tidak ingin jadi Firaun, mulailah mencintai cacian dan menghindari sanjungan. Bukan berarti kemudian melakukan tindakan bodoh yang melahirkan ejekan. Cukup dengan niat untuk menyelaraskan diri dengan sifat-sifat Tuhan.

Begitu pula, jika tidak ingin menciptakan Firaun baru, entah itu pejabat, pemimpin, organisasi, golongan atau apalah itu, kurangi sanjungan. Nyatakan saja sesuatu dengan benar.

Kalau yang dinyatakan dengan benar itu diterima, maka baik bagi yang menerima. Terkadang, pernyataan kebenaran terdengar seperti sanjungan, padahal tidak. Terkadang terdengar seperti cacian, padahal bukan.

Ciri-ciri orang yang mulai menapak menjadi Firaun, yaitu tatkala ada pernyataan benar namun dianggap mencela. Maka, seseorang yang merasa “dicela”, jangan buru-buru marah, karena bisa saja itu benar. Jangan sampai sekali-kali menolak kebenaran, atau akan jadi “mirip Firaun”.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER