SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Meluruskan Pemaknaan Politik Identitas

Meluruskan Pemaknaan Politik Identitas

WARGASERUJI – “Saya menerima berita dari tanah air tentang set up, run down dan tampilan fisik kampanye akbar atau rapat umum pasangan capres-cawapres 02, Bapak Prabowo Subianto-Bapak Sandiaga Uno, di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Karena menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif.”

“Saya sangat yakin, paling tidak berharap, tidak ada pemikiran seperti itu (sekecil apapun) pada diri Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Saya pribadi, yang mantan Capres dan mantan Presiden, terus terang tidak suka jika rakyat Indonesia harus dibelah sebagai ‘pro Pancasila’ dan ‘pro Kilafah’.”(kompas.com, 07/04/19)

Begitulah kutipan surat Pak SBY tertanggal 6 April 2019  yang disampaikan SBY kepada tiga petinggi Demokrat, yaitu Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsudin, Waketum Partai Demokrat Syarief Hassan dan Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan.

Negeri ini memang lucu. Karena ingin adil, aman, dan sejahtera tapi alergi dengan hal berkaitan dengan Maha Pencipta. Katanya kita harus  menjaga keberagaman, namun yang ada malah memupuk perpecahan akibat kedunguan dari para elit penguasa.

Jelas terlihat antipati mereka terhadap Islam. Yang tercermin dari himbauan mantan presiden 2004-2009 islam. Surat SBY ini juga disambut manis oleh Ketua TKN kubu 01, Ace Hasan Syadzily.

Ace menuturkan, “Walaupun dibungkus dalam bahasa taushiah, orasi politiknya penuh dengan bahasa kebencian dan permusuhan dengan Pak Jokowi. Bahkan orasi Rizieq Shihab kembali membangun framing kubu 02 kalah karena dicurangi.”(kompas.com, 07/04/19)

Kubu Jokowi menilai kampanye Prabowo ekslusif dan kental politik identitas, serta tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif seperti yang diharapkan SBY.

Menurut Ace, tidak ada tawaran ide, program, gagasan yang disampaikan dan hanya mengandalkan politik identitas. “Pengunaan politik identitas jelas berbahaya. Seperti yang disampaikan Pak SBY, ini akan menarik garis tebal kawan dan lawan yang akan memecah belah bangsa ini,” ujar dia. (kompas.com, 07/04/19)

Dalam kutipan surat tersebut SBY pun meminta kepada Amir Syamsudin, Syarief Hasan, dan Hinca Pandjaitan, agar memberikan saran kepada Prabowo. Untuk memastikan beberapa hal dalam kampanye Prabowo. Kampanye harus  tetap mengusung inklusifitas, kebhinnekaan, kemajemukan, persatuan, serta kesatuan ‘Indonesia untuk Semua’.

Jelas, bahwasanya dunia demokrasi adalah dunia yang tidak mengizinkan pihak lain untuk bebas. Kebebasan mahal harganya. Dan kebebasan sangat sulit didapatkan untuk penerapan apapun terkait Islam. Belum naik saja, calon pemimpin sudah ditekan. Belum menjabat saja, calon pemimpin sudah disudutkan. Belum memimpin saja, kubu 02 sudah dicap mendukung  ideologi ekstrimis yang akan memecah belah bangsa.

Sebagai mantan pemimpin negeri ini, harusnya SBY mau mengoreksi diri. Apakah kepemimpinan terdahulu sudah sesuai dengan keinginan Sang Pencipta Kehidupan. Karena semua dipertanggungjawabkan.  Dan tidak perlulah untuk memahamkan calon pemimpin berikutnya mengenai kepemimpinan yang harus sama dengannya. Karena nyata-nyata Indonesia butuh  perubahan.

Paradigma dengan menganggap Islam adalah ideologi ekstrimis yang memecah bangsa ini perlu diluruskan. Sebelum manusia lain juga menyetujui argumen petinggi Demokrat tersebut. Karena sejatinya ideologi  Islam tak diterapkan oleh satu negara pun saat ini. Menjadikan contoh kejadian di luar negeri pun bukan hal yang bijaksana.

Apakah Islam suatu identitas Politik yang patut digunakan?

Al-quran adalah kitab yang diturunkan Oleh Allah dengan perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dan mengatur berbagai hal kehidupan. Baik pengaturan mengenai hubungannya dengan Allah, diri sendiri maupun sesama manusia.

Nah, kalau kita jeli dari definisi ini ditemukan bahwa dalam Al-quran jelas memposisikan Islam sebagai sebuah keyakinan dan juga sebuah aturan. Maka sudah tak ada  bantahan lagi bahwa Islam adalah aturan yang luar biasa dari pencipta yang di dalamnya mengatur Politik. Karena ada pengaturan antar sesama makhluk dalam Islam.

Politisi ulung adalah Rasulullah saw. Dan patut jadi acuan politisi saat ini dalam berkuasa memimpin negaranya. Tentu bukan dengan bantuan sistem buatan manusia bernama Demokrasi ini. Yang sebagian besar rakyat tak memahami makna demokrasi sebenarnya.

Aturan buatan manusia yaitu aturan Barat inilah yang mengotori makna politik sebenarnya. Sehingga sebagian kaum maupun golongan Islam anti turut mencampuri politik saat ini dan mengoreksi politik saat ini. Sehingga imbasnya memisahkan mempelajari Islam dengan politik.

Poltik sebenarnya jika dimaknai sesuai syariat adalah mengurusi urusan rakyat.  Maka jelas, Islam pada hakikatnya mutlak sebagai identitas Politik. Karena urusan rakyat sudah sejak beribu-ribu tahun lalu dicontohkan Rasulullah. Bahkan kepemimpinan dulu standar utama pengangkatan calonnya harus dengan standar syariat  Islam.

Islam tidak anti terhadap musyawarah dan mufakat. Islam tidak melarang adanya pemilihan oleh rakyat. Dan bahkan para pemimpin Islam wajib hukumnya menerima koreksi rakyat bila terdapat kesalahan dalam kepemimpinan nya. Baik rakyat muslim maupun non muslim.

Wahai umat, muslim maupun non muslim. Bukalah mata kita. Cerdaslah  menilai  realita masa kelam demokrasi. Sudah saatnya berganti pandangan ke arah Islam. Karena dia adalah ideologi suci bukan ekstremis. Dia solusi yang solutif yang tidak membeda-bedakan agama, ras, suku dan lainnya. Dia adalah pengaturan terlengkap yang menjadi jawaban bagi semua masalah hidup kita.

Semoga kita semua tersadar mengenai ini  semua.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER