Kalau pilih calon presiden di 2019, apa yang ada dibenak pembaca budiman? Memilih orangnya, atau orang-orang di belakangnya? Dua-duanya, sih, tidak salah. Siapa di belakang Jokowi dan siapa di belakang Prabowo patut juga dijadikan pertimbangan.
Kalau hanya melihat kepribadian, Jokowi dan Prabowo punya citra yang berbeda, masing-masing dengan kelebihannya. Jokowi terlihat merakyat, dengan postur dan pembawaan sederhana seperti kebanyakan rakyat kecil. Prabowo, bekas jenderal, terlihat berwibawa. Dua-duanya punya pemilih yang sama besar, terbukti waktu pilpres 2014 hanya terpaut tipis.
Pertimbangan yang kedua, siapa yang di belakang masing-masing capres ini. Yang di belakang Jokowi adalah koalisinya. Entah siapa yang di belakang koalisinya, ada atau tidak. Yang di belakang Prabowo juga koalisinya, entah di belakangnya lagi ada atau tidak. Kemudian, apakah kualitas koalisi atau sekaligus kualitas masing-masing anggota koalisi perlu jadi pertimbangan? Bisa jadi, tapi rumit.
Koalisi yang terdiri dari Gerindra, PAN dan PKS, ternyata didukung oleh ulama-ulama, khususnya ulama yang pernah mendukung gerakan 212, walau tidak semua. Sedangkan koalisi yang dikomandoi oleh PDIP, dengan anggota seperti PKB, PPP, Nasdem, dan lainnya, seperti didukung oleh ulama-ulama lain. Sama-sama ulama, tidak bisa dijadikan pertimbangan utama karena semua ulama harus dihormati.
Golkar dan Demokrat, dua partai yang tidak terimbas oleh dukungan ulama manapun. Namun, masing-masing masuk mendukung salah satu capres, karena ada kewajiban mendukung (bagi yang sekarang punya kursi di DPR)jika ingin tetap ikut pemilu legislatif di 2024.
Bagaimana dengan platform partai? Secara ringkas, hampir tidak ada beda platform yang signifikan dari partai-partai tersebut. Sama saja.
Daripada rumit, mungkin lebih mudah melihat dari “cara” siapa yang akan berada di belakang Prabowo dan siapa di belakang Jokowi. Maksudnya, mengapa mereka di belakang Jokowi dan mengapa di belakang Prabowo, apakah karena “ingin mengendalikan” atau “ingin dikendalikan”.
Yang termasuk “di belakang karena ingin mengendalikan”, bisa bermakna memanfaatkan. Entah dengan tekanan politis, entah dengan, maaf, jilatan. Barangkali, ini karena sang capres tidak punya keterampilan kepemimpinan. Tanda-tandanya, sangat suka dengan orang-orang yang memujinya, dan sangat benci dengan para pengkritiknya.
Sedangkan “di belakang karena ingin dikendalikan”, bisa bermakna percaya kepada kepemimpinan capresnya, sehingga nanti bersiap untuk membantu sekuat tenaga dalam kepemimpinan capresnya. Barangkali, karena sang capres memang tidak pilah dan pilih hanya berdasarkan suka atau tidak suka, melainkan karean baik atau tidak baik untuk semua.
Sekarang, silakan nilai. Siapa capres yang “di belakangnya orang-orang yang hendak mengendalikan”, dan siapa capres yang “di belakangnya orang-orang yang bersedia dikendalikan”.
Kalau dua-duanya tak ada yang memuaskan, ya sudah. Itulah nasib rakyat dua ratus juta-an, dua kali pilpres hanya dua pilihan, capres yang sama lagi. Paling tidak, kalau dinilai buruk semua, pilih yang buruknya sedikit. Kalau dinilai baik semua, pilih yang baiknya lebih besar.