Pemilihan Kepala Daerah telah berlalu beberapa bulan yang lalu di berbagai daerah. Kondisi pasca pilkada secara umum dapat dikatakan kondusif dengan saling mengucapkan selamat dari peserta pilkada yang kalah dan pidato kemenangan yang bersifat merangkul dari peserta pilkada yang menang.
Pemilihan wakil rakyat atau anggota dewan telah menanti dan tentunya menjadi pesta demokrasi lanjutan bagi rakyat Indonesia. Calon anggota dewan telah mendaftarkan dirinya untuk mengikuti kontes politik ini. Tentunya masyarakat berharap mendapatkan calon-calon yang mampu mewakili mereka untuk mewakili suara rakyat.
Perpindahan beberapa tokoh partai menyeberang ke partai lain tentunya menimbulkan pertanyaan besar di kalangan rakyat. Bagi caleg tersebut hal tersebut dianggap sebagai idealisme pemikiran mereka, dan tentunya menggunakan alasan yang bersifat formal atau umum.
Masyarakat tentunya harus menyadari bahwa agenda pemilihan legislatif adalah agenda jangka panjang yang akan menentukan kebijakan pemerintah dalam jangka panjang. Bagi para caleg, pesta ini bukanlah sebuah pesta yang murah seperti pemilihan ketua kelas di SMP atau SMU. Tetapi butuh biaya yang sedikit untuk pembuatan alat peraga kampanye, tim sukses bahkan biaya akomodasi yang luar biasa.
Popularitas atau elektabilitas hanyalah sebagian kecil faktor kecil keberhasilan seorang calon legislatif. Apalagi di masa sekarang dimana sebagian masyarakat lebih banyak mengakses informasi dari media sosial atau media massa. Hal ini tentunya akan menambah biaya politik para calon legislatif tersebut untuk menuju sebuah kursi wakil rakyat di Gedung DPR/MPR.
Para pemodal atau cukong tentunya akan memainkan peranan mereka dalam kondisi politik yang berbiaya mahal ini. Kebutuhan para cukong untuk mengamankan bisnisnya pada masa mendatang tentunya akan memberikan alokasi dana taktis dari bisnis mereka. Kebijakan pemerintah merupakan salah satu komponen untuk menjaga stabilitas bisnis mereka.
Istilah politik balas budi atau bahkan politik transaksional akan terjadi dalam kondisi ini. Caleg yang mengalami kondisi seperti ini jika terpilih dapat dikatakan sebagia Anggota Dewan Terhormat Tersandera.
Masyarakat harus cerdas dan teliti dalam hal ini agar tidak menjadi “korban” terhadap permainan tersebut. Istilah “Politik Uang” dalam pesta demokrasi akan dirubah dari membeli suara rakyat menjadi membeli elektabilitas seorang calon legislatif.
Dalam kondisi seperti ini akan sangat mudah menemukan seorang calon legislatif yang demikian. Politikus yang diawal begitu membenci sebuah partai politik bahkan ketua parpolnya tiba-tiba berubah 180 derajat menjadi bagian dari partai tersebut.
Bagi politikus tersebut dapat beralasan sebagai kesadaran politik atau bahkan merasa insaf atas kesalahan pemahaman masa lalu. Hal tersebut sah-sah saja dalam negara demokrasi, tentunya masyarakat juga tidak bodoh ketika hal itu dilakukan menjelang pemilihan calon legislatif.
Bagaimanapun juga rakyat lah yang dapat mengalahkan para cukong nakal yang akan “membajak” para aggota dewan dibawah ketiak mereka. Tentunya para calon anggota dewan harus menyadari jangan sampai mereka “melacurkan” dirinya untuk nafsu politik dan kekuasaan yang hanya akan menjadi kehancuran bangsa ini di masa mendatang.
Rakyat dan para calon anggota dewan yang akan mampu membendung para cukong yang akan tega menguasai negara ini dibalik layar.