PKS membuka wacana mengusung Anies Baswedan sebagai presiden dengan Aher sebagai wakilnya. Wacana ini mengagetkan karena sebelumnya santer terdengar PKS sudah siap berkoalisi dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai presiden di Pilpres 2019.
Teringat di tahun 2014, ketika saat itu tiba-tiba Joko Widodo diusung menjadi capres melawan Prabowo, padahal sebelumnya Gerindra mengusung Jokowi di Pilkada DKI tahun 2012. Apakah sejarah akan berulang, dan Prabowo kembali hanya akan menjadi calon presiden saja?
Tentu, tidak semudah itu analisanya. Juga, bagi seorang muslim, tidak secepat itu prasangkanya. Barangkali, kedewasaan berpolitik perlu ditanam dalam benak setiap warga negara agar memahami langkah-langkah politik partai-partai. Bukankah mereka sesama warga negara, bahkan juga sesama umat?
Wacana itu muncul setelah beberapa pihak mengajukan JR terhadap Presidential Threshold 20%, walau belum tentu karena hal tersebut wacana itu muncul. Jika JR berhasil, maka setiap partai seberapapun jumlah kursinya, bisa mengajukan calon presiden sendiri. Artinya, medan pertempuran berubah total. Partai-partai mesti siap dengan kemungkinan perubahan ini.
Mengusung banyak calon presiden dapat memberi banyak alternatif bagi rakyat untuk memilih. Mungkin ada yang tidak sependapat karena menganggap banyak pilihan membingungkan, tapi secara mayoritas mungkin lebih senang banyak pilihan. Yang lebih penting lagi, dengan banyak calon itu sedikitnya mengurangi konsentrasi buzzer-buzzer busuk menyebarkan kampanye negatif.
Sebenarnya, pertempuran dalam perpolitikan di Indonesia hanya ada dua kubu. Kubu pertama, kubu orang ikhlas demi bangsa dan negara. Kubu kedua, kubu orang berkepentingan ekonomi-politik untuk diri dan golongannya. Tapi, banyak juga yang separuh-separuh, Kepentingan negara dipikir, kepentingan diri dan kelompoknya juga jadi bagian kebijakan. Dengan kenyataan ini, tak heran muncul kampanye-kampanye negatif yang merusak keramahtamahan antar warga negara.
Pilpres 2014 adalah bukti bagaimana terjadi polarisasi “mengerikan”, ketika dua anak bangsa bertanding normal tapi suporternya bertempur hidup-mati, hanya karena dihembus isu-isu dari sumber yang tak terlihat (baca: akun hantu). Bahkan, hingga hari ini. Bayangkan, jika pilpres 2019 mengulangi pertandingan yang sama?
Wacana mengusung Anies sudah didahului oleh wacana PAN mengusung kembali Amin Rais. Umat seharusnya paham, bahwa partai-partai sedang “menawarkan pilihan”, kasarnya: test the water. Barangkali, dengan memunculkan tokoh-tokoh “lama” akan memicu masyarakat untuk memunculkan tokoh-tokoh “baru” sebagai penanding. Sebuah proses seleksi yang bisa jadi berlangsung melalui situasi politik saat ini.
Untuk memenangkan rakyat dan umat, mungkin memang perlu strategi: pengalihan dan kejutan. Konsentrasi “musuh” menjadi teralih dengan banyak calon, sedangkan calon unggulan disembunyikan di saat-saat terakhir sebagai kejutan. Bisa jadi, bukan?