Ada cerita menarik siang ini, dari salah seorang Ustadz, narasumber dialog Jum’at, di Masjid Raya Hubbul Wathan, Islamic Center, Nusa Tenggara Barat.
Awalnya, salah seorang jama’ah bertanya kepada pak Ustadz. Pertanyaannya begini:
“Pak Ustadz, sudah dua pekan lebih Gempa di Lombok ini berlalu. Tapi, trauma masyarakat belum juga hilang. Anak-anak dan kaum Ibu, masih dirundung trauma. Mereka takut masuk rumah dan juga sekolah.
“Informasi yang simpang siur mengenai gempa susulan menambah takut dan trauma mereka. Bagaimana tuntunan agama dalam menyikapi musibah gempa ini, sekaligus trauma healing atau apalah istilahnya?”
Memang, materi dialog selepas Jum’at kali ini adalah Tafsir QS. Qaf ayat 38-40. Ayat ini bercerita tentang penciptaan langit dan bumi, kekuasaan Allah dalam mengaturnya dan memerintahkan kepada setiap manusia untuk senantiasa berdzikir, bertasbih dan berdo’a di waktu pagi dan petangnya.
Mendapat “curhat” yang demikian, pak Ustadz menjawab:
“Langit dan bumi ini adalah ciptaan Allah. Semuanya berjalan di atas kehendak dan kekuasaan Allah. Jika Allah perintahkan bumi ini berguncang, maka ia akan berguncang. Karena semuanya tunduk dan patuh di bawah perintah Allah.
“Dulu, kita melihat dan menyaksikan fenomena gempa dan tsunami di Aceh dan Di Yogyakarta. Ribuan orang menjadi korban. Tapi hari ini, kitalah yang disaksikan dan dilihat oleh orang-orang di seluruh pelosok Nusantara.
“Bagi orang yang beriman, musibah ini adalah ujian bagi mereka. Sebaliknya, bagi yang tidak beriman, bisa jadi adzab untuk mereka. Karena itu, sebagai orang yang beriman, kita wajib bersabar atas musibah yang menimpa kita.
“Salah satu tujuan dari syariat ini diturunkan adalah hifzhu An-Nafs (menjaga jiwa). Maka, ketika terjadi gempa seperti yang terjadi kemarin, ikhtiar yang wajib kita lakukan adalah menyelamatkan diri, agar tidak menjadi korban. Meskipun kemudian, keputusan akhirnya tetap ada di Tangan Allah. Apakah kita selamat ataukah sebaliknya.
“Adapun prediksi dari para ahli, terutama BMKG, terkait potensi gempa yang bisa saja terjadi, kita jadikan sebagai salah satu ikhtiar untuk menjaga jiwa kita, tetapi ketetapan yang pasti tetap di tangan Allah. Karena bumi dan langit ini dibawah genggaman Allah. Manusia hanya bisa berikhtiar, Allah saja yang Maha menentukan.
“Meskipun kemudian, ada trauma yang menyergap para korban, terutama anak-anak dan Ibu-Ibu. Saya sendiri, masih berusaha menenangkan istri dan anak-anak saya yang berada di tenda pengungsian. Kalau malam tiba, suasana mencekam masih terbayang. Mereka takut masuk rumah. Bahkan, istri saya, mau masuk rumah saja, minta di antarin, padahal cuma mau ambil baju saja. Setelah itu lari keluar.”
Jama’ah mulai tertawa….
Pak Ustadz melanjutkan:
“Saya bilang sama istri saya, perbanyak dzikir, tasbih dan tahmid saja. Kita serahkan semuanya pada Allah. Tapi, tetap saja istri saya takut masuk rumah. Dia memilih tidur di tenda. Lebih nyaman katanya.
“Hingga beberapa hari kemudian, hujan turun. Kata orang tua dulu, kalau hujan sudah turun, pertanda gempa akan berakhir. Tapi, dalam teori mitigasi bencana, gak ada hubungannya hujan turun dan berakhirnya gempa. Kita aminkan saja. Semoga dengan turunnya hujan, gempa berakhir. Amiin.
“Ada hikmahnya juga ketika hujan pada malam Kamis kemarin. Sebelum hujan, istri saya, sama sekali gak berani masuk rumah. Pas hujan turun, dia langsung bilang ke saya,’Hujannya besar, kita tidurnya di rumah saja.’
“Dalam hati saya berujar, Alhamdulillah…berkat hujan malam ini, istri saya akhirnya berani masuk rumah…”
Pak Ustadz tertawa…Jama’ah pun ikut tertawa…hahaha..
“Itulah hikmahnya hujan kemarin malam…Hujan membawa Rahmat.” Kata Pak Ustadz menambahkan.
Di akhir ceramahnya, Pak Ustadz menyarankan agar masyarakat Lombok memperbanyak introspeksi diri, berdzikir, mengingat Allah. Karena, hanya dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tentram. Trauma healing yang dituntun oleh agama adalah berdzikir. Jika hati sudah tenang, kata Pak Ustadz, insyaAllah trauma dengan sendirinya akan perlahan hilang. Wallahu a’lam.