Bulan Ramadhan sudah dipenghujung bulan,  kondisi sosial budaya yang kental dengan akhir bulan ramadhan semakin terasa.  Pembagian THR,  parcel dan juga hadiah-hadiah mulai terjadi baik antar perusahaan atau perseorangan.  Hasrat masyarakat untuk menerima rejeki tahunan dapat dilihat betapa ramainya di tempat-tempat pembagian zakat langsung.

Bagaimana suasana di daerah dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri?

Inilah gambaran sosial masyarakat yang terkadang tak masuk di logika.  Sebagian lapisan masyarakat memposisikan dirinya sebagai seorang “fakir miskin” untuk dapat menerima zakat,  sedangkan sebagian masyarakat yang lain adalah fakir miskin yang sebenarnya.

Psikologi sosial masyarakat sangat menentukan dalam kondisi semacam ini,  apakah mereka benar-benar membutuhkan atau memang untuk menambah pemasukan untuk menghadapi Hari Raya Idul Fitri.

Di beberapa daerah bahkan sevagian penerima zakat sudah menunggu sejak sore,  padahal akan dibagikan setelah salat Isya’ dengan tujuan agar masyarakat di lingkungan sudah menuaikan kewajiban untuk membayar zakat fitrah.

Zakat fitrah menjadi sebuah kewajiban menjelang penghujung bulan ramadhan dan bahkan menjadi wujud nilai kebersamaan.  Antara masyarakat yang mampu untuk membantu yang kurang mampu.

Sebagaian petugas zakat yang mampu terkadang ikut aktif menyerahkan zakat ke rumah-rumah warga yang tidak mampu.  Inilah nilai psikologis sosial yang terkadang terlupakan.  Bukan hanya jumlah nilai zakat yang diterima,  akan tetapi bagaimana proses sosial berlangsung dengan baik.

Kedekatan emosional antara yang mampu dan kurang mampu jadi terwujud.  Dan hal ini berlanjut dengan acara saling kinjung setelah salat iedul fitri.

Terkadang pada masa sekarang sebagian panitia zakat hanya membagi kupon dan menunggu penerima zakat mengambil jatahnya.  Hal ini berakibat hubungan emosional keduanya jadi rendah.

Zakat fitrah yang merupakan kewajiban ibadah pada akhirnya akan menjadi fungsi sosial juga dengan menimbulkan rasa kebersamaan antar masyarakat.