Pertanyaan ‘kapan nikah?’, ‘kapan lulus?’, ‘kapan punya momongan?’, dan ‘kapan?’ yang lain sudah menjadi pertanyaan yang lumrah ditanyakan oleh sebagian besar masyarakat kepada anak-anak muda yang telah menginjak usia menikah, kepada pasangan-pasangan muda yang belum dikaruniai momongan, maupun kepada mahasiswa-mahasiswa yang tengah menempuh pendidikannya.
Tidak jarang pula pertanyaan-pertanyaan demikian sering terlontar begitu saja pada saat pertemuan keluarga, misal saat perayaan hari raya maupun pesta pernikahan sanak saudara.
Mungkin sekilas pertanyaan tersebut sangat normal bahkan dianggap wajar. Akan tetapi apakah kita sadar bahwa pertanyaan tersebut menjadi terdengar sangat sensitif dan menyakitkan bagi sebagian orang?
Ada sebagian dari kita yang begitu mengupayakan jodohnya selama bertahun-tahun namun belum juga dipertemukan, lantas masihkah kita tega bertanya ‘kapan nikah?’ ?
Ada pula pasangan suami istri yang sudah berkali-kali mengupayakan momongan hingga keluar masuk rumah sakit berkali kali, namun belum juga diberi oleh Yang Maha Kuasa, lantas masihkah kita juga tega bertanya kepada mereka, ‘kapan punya momongan?’, ‘kapan hamil?’ ?
Begitu juga pertanyaan ‘Kapan lulus?’ Kepada sebagian mahasiswa-mahasiswa yang terlambat study? Masihkah kita bertanya demikian, sedangkan kita tidak pernah tahu apa yang tengah mereka hadapi?
Bisakah orang-orang yang selalu bertanya demikian kembali berfikir secara sadar dan objektif bagaimana perasaan mereka yang ditanya demikian? Bukankah kita tidak pernah tahu apa kendala terbesar hingga membuat seseorang belum menikah hingga usia matang?
Kita juga tidak pernah tahu bukan, mengapa pasangan suami istri belum juga dikaruniai momongan?
Selain itu, bukankah kita juga tidak pernah tahu mengapa seorang mahasiswa hingga lebih dari delapan semester belum juga lulus kuliah?
Kita memiliki hati yang mampu tuk ber-empati, lantas mengapa lidah kita dengan mudah bertanya kapan, lalu seperti mengejek karena dia tak seberuntung kita?
Bukankah kita memiliki Tuhan yang lebih tahu mengapa mereka yang kurang beruntung tak kunjung mendapatkan pasangan, tak kunjung diberi momongan atau belum juga lulus perkuliahan?
Lantas apakah kita hendak menjadi Tuhan lantaran merasa diri kita lebih beruntung karena dengan cepat menyelesaikan perkuliahan dan dengan mudah pula menemukan pasangan, mudah memiliki momongan, kemudian menjustifikasi mereka yang belum menemukan jodohnya karena terlalu ‘pemilih’ dalam memilih pasangan? Atau semacam membodoh-bodohkan mereka yang tidak lulus tepat waktu?
Siapa sih yang ingin jadi perawan atau perjaka tua? Siapa yang tidak ingin menikah? Siapa tidak ingin memiliki momongan yang lucu-lucu? Dan siapa pula yang tidak ingin menyelesaikan studi dengan cepat?
Setiap orang mengalami keadaan yang berbeda-beda dan dengan kemampuan yang berbeda-beda pula. Alangkah baiknya kita yang beruntung tidak menyamaratakan keadaan dan kemampuan setiap orang. Dan alangkah baiknya apabila kita lebih menjaga mulut untuk tidak bertanya sesuatu yang menurut sebagian yang lain adalah hal yang sensitif dan menyakitkan.
Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa bertanya hal demikian adalah sebagai bentuk perhatian. Namun bisakah kita memberikan perhatian dalam bentuk lain seperti bertanya :
- Apa kendala mereka sehingga belum bertemu jodohnya?
- Apa masalah yang dihadapi sehingga belum memiliki momongan?
- Atau apa kesulitan mereka sehingga belum bisa lulus tepat waktu?
Bukankah lebih baik bagi kita memberi bantuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan mereka? Atau minimal memberikan mereka semangat untuk pantang menyerah sembari kita mendoakan, daripada bertanya demikian?
Bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun bersabda saat berbicara dengan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu :
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ. قُلْتُ بَلَى يَا نَبِىَّ اللَّهِ قَالَ فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ.
“Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?”
Jawabku: “Iya, wahai Rasulullah.”
Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda,
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?”
Maka beliau bersabda, “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi no. 2616)
Selain itu :
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى
النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim no. 2988)
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47).
So, stop asking that question! Never ask, if you can’t give a solution 😉 (HA)