Suasana politik makin memanas di negeri ini. Pandangan politik, sindiran politik bahkan makian politik menambah suhu yang makin panas.
Tragedi G30SPKI dan DI/TII menjadi komoditas yang murah dan diobral para politisi dan simpatisan. Hukuman untuk keturunan sudah menjadi seperti gerakan genosida yang seakan biasa tetapi mematikan rasa.
Korban gerakan G30SPKI meradang, demikian juga korban gerakan pembersihan salah sasaran juga bergelimang. Payung hukum dijadikan sebagai pembenaran untuk tindakan menginjak-injak nilai kemanusiaan.
Di daerah jawa bagian selatan, anak keturunan dari kedua gerakan sudah bersahabat dalam ikatan masyarakat. Beribadah berjamaah dalam satu wadah penuh ukhuwah hanya bertujuan untuk hidup lebih baik yang mawadah dan warahmah.
Politikus dan simpatisan kembali mengangkat luka masa lalu. Dengan alasan untuk mengingat sejarah, padahal mereka hanya ingin masyarakat menjadi terbelah agar mereka mampu berkuasa dengan mudah.
PKI dan DI/TII seakan seperti virus yang tak ada obatnya, yang dipastikan tak akan sembuh dengan berbagai cara. Saling menuduh dua kubu dengan cara durhaka dan tercela seakan merekalah yang memiliki hak sebagai penghuni surga dan pembela negara.
Keturunan PKI dan DI/TII bukanlah seorang yang nista karena keturunan orang tuanya. Mereka tak punya pilihan ketika dilahirkan kepada siapa mereka ingin diturunkan ke dunia.
Embel-embel anak komunis dan anak radikalis seakan melekat di muka mereka. Dikucilkan dan dihinakan dengan kata oleh para ahli pencela yang merasa sebagai ahli agama bahkan ahli bela negara.
Kejadian puluhan yang lalu adalah tragedi anak bangsa akibat ketidakpuasan pada penguasa. Bukan karena keyakinan di dada bahkan menjadi sifat atau tabiat sebagai manusia.
Dalam jaman kenabian seorang kafir masih mampu bertaubat, meskipun dianggap sebagai kafir laknat. Dengan pedang mengejar Nabi Muhammad Saw ketika beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Dan Allah memberikan hidayah Nya, menjadikannya sebagai seorang pembela agama.
Masih ingatkah akan Kisah Sahabat Umar Ibn Khatab, sebagai Quraisy pembenci Islam dan siap membunuh Nabi dengan pedang yang tajam. Beliau menangis saat dibacakan ayat suci Al Qur’an dan menjadikan beliau menjadi “Singa Islam” yang siap melawan siapapun penghancurnya dibawah Panji Al Qur’an.
Manusia adalah hamba, bukan mengambil hak Allah sebagai Maha Menghukumi, bahkan ambil hak Allah sebagai Maha Memaksa.
Biarlah tragedi itu menjadi pelajaran manusia, bukan menjadi komoditi para politisi. Untuk meraup suara dan dukungan anak negeri. Ketika pesta demokrasi telah usai, politikus masuk ke senayan sementara anak bangsa masih dalam suasana pertikaian.
Tapi yang lebih santer isu pki yang jadi gorengan.. Dan waspada juga buat #2019ganti presiden dan ganti sistem..
Komunis sudah terbukti berkhianat 2x. Tetap waspada bahaya laten komunis !!