SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Fitnah itu Lebih “Sadis” daripada “Penganiayaan”

Fitnah itu Lebih “Sadis” daripada “Penganiayaan”

Tulisan dibawah ini oleh Profesor Suteki, Dosen Pengajar Pancasila Universitas Diponegoro Semarang, yang saat ini masih menunggu keputusan sidang etik atas dirinya.

Sebagai bentuk keprihatinan atas perbedaan perlakuan kasus Habib Bahar Bin Smith dengan kasus lain yang semakin menguatkan kesan tebang pilih aparat hukum.

Saudaraku,

Berita yang masih hangat digoreng adalah Kasus Dugaan Penganiayaan terhadap “anak” yang dilakukan oleh Habib Bahar bin Smith. Akibatnya Habib Bahar bin Smith ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polda Jawa Barat. Tanggapan orang sangat beragam. Ada yg suka dengan penahanan ini dan ada juga yg prihatin terhadap “super cepat”-nya penanganan kasus ini dibandingkan dengan tindak pidana orang-orang “ternama” dan “terdekat” dengan sumbu kekuasaan meski saya tahu ada perbedaan jenis tindak pidananya.

Tengoklah kasus V*ctor Laisk*dat, Ade Ar*ando, De*ny JA, Bupati B*yol*li, Bu S*kmawati dan lainnya yang diduga juga melakukan tindak pidana dan setahu saya sudah dilaporkan tetapi terkesan sangat lamban penanganannya.

Melihat posisi Habib Bahar sebagai ustadz, ulama muda, juga seorang habib yg memiliki ribuan bahkan jutaan pengikut, mestinya polisi lebih arif menangani kasus ini. Haruskah menahannya bila Habib Bahar kooperatif, tdk menghilangkan barang bukti dan tidak mengulangi perbuatannya? Menurut saya tidak perlu menahannya karena memang bahasa UU tidak ada kata WAJIB MENAHAN seorang tersangka atau terdakwa (Baca KUHAP).

Syarat penahanan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP di atas dikenal dengan syarat penahanan subjektif artinya terdakwa bisa ditahan apabila penyidik menilai atau khawatir tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.

Dengan kata lain jika penyidik menilai tersangka/terdakwa tidak akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana maka si tersangka/terdakwa tidak perlu ditahan.

Sementara Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyatakan, “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Pasal 21 ayat (4) KUHAP ini dikenal dengan syarat penahanan objektif. Artinya ada ukuran jelas yang diatur dalam undang-undang agar tersangka atau terdakwa itu bisa ditahan misalnya tindak pidana yang diduga dilakukan tersangka/terdakwa diancam pidana penjara lima tahun atau lebih, atau tersangka/terdakwa ini melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal-Pasal sebagaimana diatur dalam huruf b di atas.

Berdasarkan uraian di atas, bisa dipahami bahwa yang namanya tersangka/terdakwa TIDAK WAJIB ditahan. Penahanan dilakukan jika memenuhi syarat penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP (syarat objektif) dan memenuhi keadaan-keadaan sebagaimana dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP(syarat subjektif).

Atas penahanan HB Bahar ini, ada seorang yg mengaku ustadz, namanya Abu Janda yang merilis lagu dengan nada ejekan yg diberi titel: ‘Makan Di Penjara Sayur Kol’. Sedih saya mendengar lirik lagu itu. Sama sekali tdk ada kepedulian rasa dari Abu Janda ini terhadap Habib Bahar bahkan terkesan “bahagia” atas kasus yang menimpa sang habib. Dalam pandangan saya, habib juga manusia biasa yang sangat rentan juga untuk bisa berbuat khilaf, sengaja atau apa pun namanya sehingga oleh hukum negara dihukumi sebagai perbuatan terlarang karena misalnya melakukan eigenrichting dlm bentuk adanya dugaan penganiayaan.

Ada yang berpendapat bahwa anak yang dianiaya juga menderita, bukankah sudah sepantasnya Habib Bahar bin Smith menjadi tersangka dan ditahan? Dalam hal ini saya balik bertanya, apa latar belakang Habib Bahar bin Smith diduga melakukan penganiayaan? Anda pun harusnya juga tah, .betapa sakitnya “difitnah” dalam arti diperlakukan buruk dengan tujuan untuk merendahkan martabat, dan dicemarkan nama baiknya.

Terkait dengan apa itu finah, Al-‘Allamah Muhammad Shiddiq Hasan Khan Al-Qinnuji Al-Bukhari –rahmatullah ‘alaih– menjelaskan, “{Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan}. Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah kekufuran dan kemusyrikan.

Yang mengatakan demikian adalah Ibnu ‘Umar. Artinya, kekufuran kalian itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan yang kalian lancarkan kepada sarriyyah (pasukan perang yang tidak diikuti Nabi) yang diutus oleh Nabi –shallallahu ‘alahi wa sallam-. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud fitnah di sini adalah mengeluarkan penduduk Makkah darinya (baca: dari Makkah).

Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah gangguan yang mereka lancarkan terhadap agama mereka (kaum muslimin) sehingga mereka binasa, maksudnya fitnahyang ditujukan kepada orang-orang lemah dari kalangan kaum mukminin, fitnah yang sama dengan fitnahnya kaum kuffar yang tengah mereka pijaki.” (Fat-h Al-Bayan ‘an Maqashid Al-Quran I/436)

Saudaraku, luka tubuh mudah disembuhkan tapi rusaknya nama baik butuh waktu lama bahkan selamanya sulit untuk dipulihkan. Maka kita perlu memahami makna yg lebih luas dari penggalan kalimat dalam Ayat 191 dan 217 QS Al Baqarah yang artinya bahwa: Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ

“Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.” (QS Al-Baqarah: 191)

وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ

“Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (QS Al-Baqarah: 217)

Terlepas dari beragamnya makna fitnah, saya yakin Anda bisa memahami bukan mengapa Habib Bahar merasa dirinya direndahkan martabatnya dengan kelakuan anak yang menyamar dirinya sehingga khilaf (bila benar ) dengan dugaan telah melakukan penganiayaan terhadap orang yang menyamar dirinya.

Saya tidak dalam kapasitas melakukan pembelaan terhadap dugaan penganiayaannya melainkan hanya ingin mendudukkan perkara ini dalam pandangan yg lebih komprehensif dan berimbang.

Eigenrichting ( main hakim “sendiri”) bagaimana pun tidak dibenarkan tetapi, perlakuan tidak adil dan public trust terhadap penegakan hukum yang seperti dikatakan oleh Marc Galanter bahwa ‘The Haves Always Come Out Ahead’, juga menjadi trigger dilakukannya eigenrichting.

Where is your coordinate?

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER