Dalam Al Qur’an orang-orang kafir dimaknai dengan orang yang tertutup hatinya, ditutup pendengaran, penglihatan dan nuraninya dari kebenaran. Mata dapat melihat, telinga mendengar, nurani berbisik namun semua itu terkalahkan oleh tutupan hawa nafsu yang sudah kadung menguasai dirinya.
Hawa nafsu telah menjadikan penglihatan rabun, pendengaran budhek dan nurani tumpul. Tak ada lagi yang mampu mengetuk dan membangunkannya untuk mengalahkan nafsu yang telah membelenggu.
Kebenaran yang terang benderang bagai siang dengan matahari yang sempurna pun tak mampu lagi dilihatnya. Dirinya diliputi kegelapan jahiliyah nafsu angkara yang telah memabukkan dan menguasainya. Tak mampu lagi membedakan mana yang baik dan benar dengan yang buruk dan salah.
Amanah jabatan yang diterimanya tak lebih malah sebagai alat keabsahan untuk melampiaskan nafsu syahwat angkara. Membalas dan menghukum siapa saja yang berseberangan dengan kemauannya. Siapa yang berani melawan atau bahkan hanya sekedar mengkritik akan dicari kesalahannya sampai ke lubang ‘jarum’. Sebaliknya, bagi para pemuja dan pendukung tidak ada kata salah, tidak ada hoaks, tidak ada fitnah meski mulutnya berbusa-busa menghujat lawan dengan berbagai kebohongan. Bagi Raja, pendukung adalah karib yang harus selalu dilindungi meski menggunakan alat negara yang semestinya bersih dari kepentingan pribadi penguasa.
Maka Tuhan mengutus ‘utusannya’ berupa musibah yang silih berganti. Belum selesai yang satu, yang lain datang susul-menyusul bagai antrian berdesakan yang ingin segera melampiaskan murka karena dusta penguasa yang berbuih.
Sebagian rakyat yang sadar tak mampu lagi memberi nasehat, bahkan nasehat tidak ada lagi gunanya bagi telinga yang pekak. Tak berguna bagi mata yang buta. Tak berguna bagi nurani yang terkunci.
Ditengah jeritan rakyatnya yang terkena musibah, yang bahkan untuk mendapatkan makanan sekedar penyambung nyawa pun susah, masih tega menggelar ‘pesta’ mewah menjamu raja-raja asing yang 20 tahun lalu menistakan bangsanya dengan LoI nya. Yang resepnya tidak menyembuhkan penyakit ‘diare ekonomi’ negara, namun justru melahirkan ‘dehidrasi’ akut yang memerlukan waktu puluhan tahun untuk sembuh.
Sang Raja-pun manggut-manggut diiringi dentuman music cadas kegemarannya, sambil menyeruput kopi pagi dan menyeringai. Hulu balang pun diperintahkan untuk membuat pengumuman, raja akan bagi-bagi sepeda…! Bagi siapa saja yang bisa menghafal nama-nama ikan diluar kepala. Agar mereka lupa pesta pora yang sedang dilakukan para punggawanya.
Yang diperlukan hanyalah kepekaan , namun yang ada hanyalah ke-pekak-an.
Ini hanya kisah dinegeri antah berantah. (sry)