Sudah semu, palsu pula. Alangkah malangnya negara antah berantah itu. Konon dulu dalam hikayat babad tanah antah berantah, negeri itu subur makmur, gemah ripah loh jinawi. Tukul kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku. apaupun yang ditanam akan tumbuh berkembang, harga kebutuhan sehari-hari demikian murah.
Itu dahulu. Kini setelah berturun generasi, pemimpin negeri antah berantah itupun silih berganti raja. Mulai raja yang welas asih pada rakyatnya sampai raja bengis nan kejam. Mulai raja tua renta sampai raja kanak-kanak. Kini negeri itu dipimpin seorang raja yang polos, berpenampilan sederhana, wajah ndeso namun hobbynya bukan dengan budaya luhur negerinya, justru budaya asing yang dulu oleh raja pendahulunya dikatakan gamelan ‘ngak-ngek-ngok’ , justru kini ia gandrungi dengan sepenuh hatinya.
Negeri itu memang bukan feodalistik yang rajanya ditentukan oleh garis keturunan dari permaisuri. Dinegeri itu raja dipilih oleh seluruh rakyatnya, dengan didahului festival yang amat meriah dengan menghabiskan uang dipundi negara yang tidak sedikit. Para calon raja memoles diri, ber-make-up, ada yang tebal , ada yang tipis bahkan ada yang mengenakan topeng kepalsuan biar wajahnya yang jerawatan tidak dikenali rakyatnya.
Berpidatolah mereka dihadapan khalayak pada hari yang ditentukan, bagaikan Fir’aun dahulu berapi-api berpidato dihadapan rakyat dan para ahli sihirnya. Menyerang Musa dengan argument yang diputar balikkan. Dikatakan Fir’aun bahwa musa adalah penipu, gila bin majnun yang akan mengajak rakyatnya menuju kehancuran. Para kandidat raja pun berusaha saling memojokkan lawannya hingga dipojok ring, bila perlu lawan terjungkal diketiak penonpon sambal dicaci maki sampai dia lari terbirit-birit lintang pukang tak lagi mampu menengok ke belakang.
Para kandidat mengumbar janji-janji muluk. Ada yang akan memakmurkan rakyatnya kembali, memperbaiki ekonomi yang sebelumnya dibilang amburadul. Ada yang berjanji akan membeli kembali perusahaan negara yang dulu dijual oleh raja sebelumnya. Anti tenaga kerja asing, tidak akan berhutang pada negara lain dan janji-janji manis lainnya.
Raja yang sekarang inilah yang mampu menyihir rakyatnya, mengelabui pandangan mata rakyat yang waras menjadi tersulap oleh fatamorgana. Air yang diharapkan menyirami dahaga gelisah kemakmuran rakyat yang tak kunjung tiba sebelumnya, dinanti oleh rindu dan puja-puji pada sang raja. Namun anehnya tak kunjung tiba, hingga masa raja hampir habis bertahta. Janji-janji manis yang dulu mampu ‘menyihir’ rakyat, entah kemana larinya. Tak ada tanda-tanda akan wujud dalam kenyataan.
Rakyat mulai gelisah, harapan itu ternyata semu. Janji-janji itu ternyata palsu. Kini rakyat bimbang akan menentukan pilihannya, akankah raja sekarang masih diharapkan untuk mengembalikan marwah negeri antah berantah? Atau harus diganti oleh kandidat raja baru? Rakyat negeri antah berantah itupun termenung menatap mendung kelabu yang menggelayut diatas bumi gemah ripah loh jinawi itu, yang kini seolah menjadi abu.