Pemilihan Legislatif baik untuk DPRD II, DPRD I maupun DPR RI sudah sangat dekat dalam hitungan bulan. Kasak-kusuk tim sukses bergerilya ke kantong-kantong warga sudah mulai terlihat, baik dengan cara terbuka maupun dengan cara samar-samar. Mereka yang mengaku sebagai “Calon Wakil Rakyat” dengan segala cara mulai mendekati “Rakyat” yang akan diwakilinya di Gedung Dewan nantinya.
Ribuan orang berebut untuk menjadi “wakil”, logika edan menurut pikiran saya. Untuk menjadi wakil saja sudah berebut, lalu bagaimana menjadi orang yang akan diwakilinya.
Tapi inilah fenomena “terbalik” di negeri ini. Para calon wakil rakyat mampu berubah secara drastis baik penampilan, pembicaraan maupun tingkah laku.
Bagaimana berita arogannya seorang wakil rakyat yang memaki-maki seorang petugas di bandara beberapa waktu yang silam?
Bagaimana seorang wakil rakyat yang merasa sangat sibuk waktunya untuk melakukan studi banding, kunjungan kerja atau bahkan pertemuan-pertemuan penting yang barang kali tidak diketahui oleh rakyat yang memberikan perwakilan padanya.
Mereka kini kembali menjadi “manusia baik” yang lemah lembut, sopan santun bahkan sangat dermawan.
Bagaimana tidak dermawan, ketika jadi wakil rakyat mereka sebagian mengatakan “Tolong cek benar-benar pengajuan bantuan, karena dana terbatas!!”, mungkin sekarang bahasa sudah berubah “Perlu bantuan apa saja silahkan sampaikan”.
Bahkan yang sangat heboh saat ini rasa “malu” sudah tipis atau bahkan hilang. Mereka yang pernah menjadi terpidana tindak korupsi dan tidak diperbolehkan ikut dalam pemilihan legislatif menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi independen yang menjadi panitia penyelenggara pemilihan legislatif. Seorang wakil rakyat yang digaji oleh rakyat dan tega memakan uang rakyat yang memberikan kuasa perwakilannya.
Hak Asasi Manusia (HAM) kembali mereka suarakan sebagai alasan akan hak mereka untuk maju menjadi wakil rakyat lagi. Mereka telah lupa akan HAM ketika para koruptor tersebut telah “mencuri/merampok/menjarah” uang rakyat yang mereka wakili.
Perang reklame, baliho atau pun spanduk dengan gambar para calon wakil rakyat sudah akan dimulai. Bayangkan dengan bangga seorang manusia menyodorkan dirinya sebagai seorang “wakil”. Bahkan rela mengeluarkan banyak tenaga, waktu dan harta untuk memperoleh posisi wakil tersebut. Tidak sedikit pula yang menjadi gila atau stress akibat kegagalan dalam pesta demokrasi pemilihan wakil rakyat.
Rakyat tentunya harus makin cerdas menghadapi para “musang berbulu domba” yang menyelinap diantara barisan para calon wakil rakyat. Harus disadari bahwa mereka yang akan mewakili suara rakyat selama lima tahun. Dan yang paling fatal, jika mereka sudah dilantik menjadi wakil rakyat, seandainya rakyat ingin A, akan tetapi wakil rakyat menyatakan B maka keputusan adalah B.
Logika terbalik seorang wakil rakyat yang menjadi rebutan telah terjadi. Tidaklah sepenuhnya salah jika boleh dikatakan mereka mewakili rakyat dalam satu paket baik kepercayaan maupun fasilitas yang diterima.
Dan janganlah terlalu percaya kepada seorang calon wakil rakyat yang mengatakan bahwa menjadi wakil rakyat adalah sebuah amanah yang sangat berat. Logika bodohnya, kalau hal itu berat mengapa menjadi rebutan ribuan orang.