WARGASERUJI – Dunia kampus terpapar dengan ide yang merusak moral manusia. Sebuah cerpen berjudul “ketika semua menolak kehadiran diriku di dekatnya”, yang dimuat oleh Suara USU (Universitas Sumatera Utara), pada tanggal 12 Maret 2018. Isinya menuai reaksi dari Rektor USU karena dianggap mengandung unsur pornografi dan mengampanyekan LGBT. Akibat tulisan tersebut para pengurus Suara USU diberhentikan sebagai pengurus oleh Rektor USU. (kabarkampus.com)
Menurut pengakuan Wakil Rektor I USU, Prof. Dr.Ir.Rosmayati,MS bahwa viralnya masalah Pers Mahasiswa (Persma) Suara USU setelah membuat cerpen dengan kalimat yang tidak layak muat, tak patut dilakukan oleh seorang calon intelektual.
Perguruan tinggi atau kampus merupakan pencetak para intelektual. Mahasiswa memiliki potensi yang begitu besar sebagai agent oog change (agen perubahan). Mahasiswa disebut juga pemuda. Dengan semangat mudanya, mahasiswa atau pemuda yang meyakini sebuah ideologi akan siap sedia dengan kewajiban dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Bahkan Bung Karno dalam pidatonya berkata: “Berikan kepadaku 10 pemuda, maka akan aku ubah dunia”. Lantas, bagaimana mungkin jika mahasiswa terpapar ide menyimpang dan merusak moral manusia (LGBT) dapat melakukan sebuah perubahan hakiki?
Bahaya LGBT
LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual dan transgender. LGBT bukan fitrah manusia, tetapi penyimpangan perilaku, maka LGBT justru membahayakan individu, keluarga, masyarakat dan negara. Hingga suatu hal yang wajar jika kampus harus dibersihkan dari bahaya tersebut.
Bagi individu, perilaku menyimpang tentunya membuat tidak tenang, apalagi bahagia. Karena menyalahi fitrah. Ketakutan dan rasa khawatir akan kehilangan pasangan jauh lebih besar. Akibatnya, ketika ditinggalkan pasangannya, dendam dan tindakan nekat tak jarang dilakukan. Membunuh, mutilasi, menyodomi mayat, dan sebagainya adalah indikasi kerusakan mental penganut LGBT.
Lalu, bagaimana mungkin kampanye LGBT diberikan tempat dalam kampus? Mereka pun tak jarang terjangkiti virus HIV/AIDS, karena perilaku menyimpang mereka. Virus menular dan mematikan ini pun kemudian dibawa pulang, mengancam keluarga.
Menjadikan keluarga tidak tenang, karena was-was dan dalam ancaman virus menular dan mematikan ini. Selain itu, keberadaannya pun menjadi aib bagi keluarganya. Sementara bagi masyarakat dan negara, dengan mentalitas mereka yang lemah dan rusak, ditambah efek penyebaran virus LGBT secara massif, dengan dukungan individu, negara dan badan dunia, menyebabkan dampak kerusakan dan destruktifitasnya menjadi ancaman nyata bagi masyarakat dan negara.
Hal yang sudah seharusnya bagi pelakunya dan berbagai komunitas pendukung LGBT menghentikan kampanye atas perilaku perusak moral generasi bangsa ini.
Islam Solusi LGBT
Penyelesaian LGBT harus menyeluruh dan sistemik. Dalam konteks pendidikan, didalam keluarga yang disinari dengan cahaya Islam, maka sejak dini anak sudah dididik dengan Islam, dan hukum-hukumnya.
Lingkungan yang terbentuk dari keluarga, masyarakat dan negara yang menerapkan Islam akan terwujud lingkuangan yang sehat. Maka penyimpangan sekecil apapun menjadi mudah diselesaikan. Karena dalam kondisi seperti ini, terjadinya penyimpangan bisa dihitung dengan jari dan sangat langka.
Sistem Islam pun dengan tegas menghukum pelakunya. Karena seluruh jalan dan celah sudah ditutup rapat, maka mereka yang menyimpang dalam kondisi seperti itu dianggap nekad.
Bagi lesbian dan gay atau biseksual yang berpasangan dengan sejenis, dihukum dengan hukuman mati. Bisa dengan cara dijatuhkan dari bangunan tertinggi, atau dengan cara yang lain. Sedangkan bagi transgender, jika tidak sampai melakukan sodomi dengan sesama lelaki, atau dengan sesama perempuan, maka dia akan dikenai hukuman ta’zir (sanksi yang dijatuhi oleh kepala negara /Khalifah)
Dengan cara seperti ini, maka LGBT akan dapat diberantas hingga ke akar-akarnya. Sikap tegas Rektor USU mengembalikan para pengurus Suara USU kepada jurusan mereka masing-masing untuk belajar moral dan etika seharusnya kita apresiasi. Negara memiliki peran penting sebagai pelindung warga negaranya dari setiap perilaku yang meyimpang. Kita mengharapkan peristiwa seperti ini tidak akan terjadi kembali di berbagai perguruan tinggi di negeri ini.
Oleh : Rindyanti Septiana S.Hi
(Pegiat Literasi Islam &Kajian Islam Politik Medan)