Beberapa kali penulis mendapati ada di kalangan para santri pesantren yang mempunyai nama kurang bagus atau kurang islami, maka penulis mengajaknya berdialog ringan, jika mereka berkenan maka akan diberi nama baru yang lebih memiliki makna atau yang lebih indah dan islami.

Misalnya, nama Dedik diganti dengan Hadi (pembimbing). Mulyono diganti menjadi Musyarraf (terhormat). Ismato dirubah jadi Isamil (nama Nabi). Suryadi diganti dengan Syamsuddin (penerang agama), dan sebagainya. Penulis juga biasanya memberi bumbu ucapan, bahwa nama baru ini lebih cocok kalau kelak mereka menjadi ustadz..

Walaupun bukan berarti nama aslinya itu tidak cocok untuk dirinya, atau untuk panggilan keustadzan, namun lisan dan telinga masyarakat khususnya di kalangan pesantren, akan lebih familiar memanggil Ustadz Hadi daripada Ustadz Dedik, Ustadz Musyarraf daripada Ustadz Mulyono, Kyai Ismail daripada Kyai Ismanto, Syekh Syamsuddin daripada Syekh Suryadi, demikian dan seterusnya.

Sy. Usamah ibnu Akhdari RA pernah memaparkan bahwa di antara rombongan yang menghadap Nabi Muhammad SAW ada seorang laki-laki yang bernama Ashram.

Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Siapakah namamu?”

Laki-laki itu menjawab, “Ashram (putus).”

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak, engkau (kuberi nama) Zur’ah (tumbuh).” (HR. Abu Dawud)

Pernah juga Sy. Masruq bercerita bahwa ia bertemu dengan Khalifah Umar RA, lalu beliau bertanya, “Siapa namamu?”

Ia menjawab, “Masruq ibnu Ajda.”

Khalifah Umar RA memberitahukan, aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Al-Ajda’ adalah nama setan.” (HR. Abu Dawud).

Suatu saat, penulis bertemu dengan seseorang yang memperkenalkan diri dengan nama Ibnu Jaran (artinya anak kuda, dalam bahasa Jawa), maka penulis mengajaknya bicara dari hati ke hati, kalau penulis akan memberinya nama baru yang lebih layak. Semula, penulis berpikir mungkin hanya perlu diganti harakatnya saja menjadi Ibnu Jiran, namun penulis jadi tersenyum sendiri, karena arti Ibnu Jiran itu adalah anak tetangga, bisa-bisa dianggap anak zina hasil selingkuhan dengan tetangga. Akhirnya penulis menggantinya dengan nama Ghufran (ampunan).

Menurut Sy. Ibnu Umar RA, semula anaknya diberi nama Ashiyah (berdosa), lalu nama itu diganti oleh Rasulullah SAW dengan Jamilah (cantik). (HR. At-Tirmidzi).

    TINGGALKAN KOMENTAR

    Silakan isi komentar anda
    Masukan Nama Anda