WARGASERUJI – Seorang turis mancanegara mengusir warga lokal yang bermain di pantai yang berlokasi di depan sebuah vila, di Desa Temukus, Banjar, Buleleng, Bali, Minggu (21/7) sore.
Warga lokal Gede Arya Adnyana (31) bersama anaknya bermain di pantai yang lokasinya tepat di depan vila itu. Tiba-tiba Gede Arya dihampiri anak dari turis. Dengan bahasa isyarat, anak dari turis itu meminta Gede Arya menyingkir dari pantai tersebut.
“Karena pengusiran pas saya mandi di pantai pas sama anak saya dengan alasan pertama sudah menyewa vila itu sekaligus pantainya,” kata Gede Arya kepada wartawan, Selasa (23/7).
Pihak desa lalu mengundang polisi untuk mengamankan situasi. Akhirnya setelah negosiasi yang alot, turis tersebut keluar dari vila setelah melibatkan pemiliknya. Ternyata transaksi yang dilakukan antara turis dengan pemilik vila dilakukan secara online. Setelah uang sewa dikembalikan, turis tersebut mau mengalah.
Kok Bisa?
Mungkin saja, pihak vila menawarkan kepada turis tanpa keterangan bahwa pantai di depan vila adalah pantai publik, bukan privat. Akibatnya, turis menganggap jika ada orang yang bermain di pantai depan vilanya, masuk ke lingkungan vila.
Sedangkan dalam pandangan orang lokal, semua pantai adalah wilayah publik, sehingga siapapun berhak menggunakannya. Bahkan Kepala Dinas Pariwisata Buleleng Nyoman Sutrisna mengatakan tak ada pantai yang diprivatisasi. Jika ditemukan privatisasi pantai, mereka akan berurusan dengan hukum.
“Nggak ada yang menyewakan. Sepadan pantai itu open access, sepadan pantai itu tidak ada dimiliki oleh hotel dan vila. Nggak boleh (disewakan) milik negara, milik orang banyak, kok disewakan. Kalau melanggar, salah apa tidaknya itu kewenangan polisi pariwisata (mengusutnya),” jelas Nyoman.
Agar peristiwa turis mengusir warga lokal tersebut tidak terjadi kembali, beberapa pihak mengusulkan agar ada semacam norma adat yang mengatur penggunaan pantai sebagai ruang publik. Namun, penting pula peran pemerintah daerah untuk memberi edukasi terhadap pemilik-pemilik vila agar jangan sampai turis salah paham. Kalau turis kapok, tentu merugikan semua pelaku pariwisata di Bali.