WARGASERUJI –Â Marak impor sampah yang berlimpah baru-baru ini menjadi sorotan dan mengkhawatirkan. Hal tersebut dikarenakan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Basel melalui Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1993.
Konvensi tersebut mengatur perpindahan lintas batas limbah secara internasional. Termasuk menetapkan pengetatan atas pembuangan limbah beracun berikut turunannya terhadap dampak lingkungan hidup efektif.
Pada tanggal 10 Mei 2019, 187 negara telah mengambil langkah besar untuk mengendalikan krisis perdagangan plastik dengan menyertakan plastik ke dalam Konvensi Basel. Perjanjian tersebut berupaya mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun antar negara, terutama dari negara maju ke negara berkembang.
Berdasarkan data lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah Ecoton, masuknya sampah dengan merk dan lokasi di luar Indonesia, diduga akibat kebijakan China menghentikan impor sampah plastik dari sejumlah negara di Uni Eropa dan Amerika yang mengakibatkan sampah plastik beralih tujuan ke negara-negara di ASEAN.
Indonesia diperkirakan menerima sedikitnya 300 kontainer yang sebagian besar menuju ke Jawa Timur setiap harinya. Hal tersebut menjadi bukti begitu lemahnya posisi Indonesia dalam politik dan ekonomi internasional sekaligus menjadi bukti lemahnya wibawa negara di hadapan para kapital (pengusaha). Andai negara berwibawa, niscaya tak akan marak impor sampah.
Sejatinya negeri yang kaya raya ini bisa kuat dan berdaya, baik di dalam maupun ke luar ketika memiliki landasan kokoh yakni ideologi (baca: ideologi Islam). Kemudian diurus dengan aturan yang benar, yakni aturan-aturan Islam.
Sebagaimana yang terjadi pada era Khilafah yang merupaka masa dimana dunia Islam mendapatkan tempat istimewa dari lawan maupun kawan karena keagungan yang dimilikinya.
Pernah suatu ketika Raja Spanyol Kristen, Ardoun Alfonso pada tahun 351 H berkunjung kepada Khalifah Al-Mustansir. Dia melihat bagaimana keadaan peradaban Islam pada waktu, tatkala menghadap khalifah, Alfonso merebahkan diri bersujud sesaat kemudian berdiri tegak, lalu maju beberapa langkah dan kembali bersujud. Itu dilakukan berulang-ulang sampai dia berdiri tegak di hadapan khalifah, kemudian membungkukkan lagi untuk mencium tangan khalifah.
Hal ini mengisyaratkan tentang bagaimana kewibawaan peradaban Islam dimata lawan maupun kawan dengan segala keutamaan yang ada padanya. Tidakkah kita merindukan masa kejayaan itu?
Oleh : Rindyanti Septiana S.Hi
Pegiat Literasi Islam & Jurnalis Muslimah Medan