WARGASERUJI – Baiq Nuril seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram, terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kasusnya bermula ketika dia merekam percakapan telepon dengan kepala sekolah yang merupakan atasannya. Rekaman tersebut membuktikan bahwa bosnya melecehkan secara seksual. Namun, Baiq justru dilaporkan ke polisi pada 2015 atas tuduhan pelanggaran UU ITE. Dikutip dari international.sindonews.com,(6/7).
Ditolaknya Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung, menjadikan Baiq Nuril tetap menjalani hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan sesuai putusan Kasasi MA.
Hal tersebut menjadi sorotan media internasional yang berbasis di Amerika Serikat, seperti Reuters, Washington Post hingga New York Post, ramai-ramai memberitakan kasus yang menjerat wanita tersebut. “Indonesia’s top court jails woman sho reported workplace sexual harassment”, artinya adalah “pengadilan tertinggi di Indonesia penjarakan wanita yang melaporkan pelecehan seksual di tempat kerja”. Itu salah satu judul yang dimuat oleh media internasional.
Begitu juga BBC (Inggris) dan Al Jazeera (Qatar), juga mengulas kasus Baiq. Hingga saat ini wanita tersebut masih mengharapkan amnesti dari Presiden guna membebaskannya dari jeratan hukum.
Vonis yang diterima oleh Baiq, dianggap sebagai bentuk ketidakadilan hukum. Karena ia merupakan korban dari sebuah tindakan kejahatan seksual.
Sementara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise mengatakan, jangan wanita saja yang dikorbankan. Ada ketidakadilan penegakan hukum. Diskriminasi terhadap kaum perempuan masih tinggi di negara ini, nasional.tempo.co, (22/11/2018)
Baiq Nuril Bukan yang Pertama
Kasus seperti Baiq bukanlah yang pertama di negeri ini. Seseorang yang menjadi korban justru dilaporkan. Pengalaman telah mengajarkan agar tidak mencari keadilan di lembaga peradilan. Pasalnya, untung tak dapat diraih dan malang tak bisa ditolak. Berawal mencari keadilan, tapi bisa-bisa menjadi pesakitan.
Pada tahun 2016 dilakukan survei oleh Lentera Sintas Indonesia, Magdalene.co dan Change.co menunjukkan 93 % penyintas kasus pemerkosaan tidak melaporkan kasus mereka ke kepolisian. Menurut Wulan Danoekoesoemo, ada ketakutan dari mereka, justru dipersalahan bahkan dipermalukan, bbc.com, (21/10/2017)
Situasi di atas, tentu muncul bukan tanpa sebab. Mahalnya ongkos mencari keadilan serta besarnya energi dan stamina yang dibutuhkan untuk menghadapi kasus di peradilan. Dengan masih adanya para markus atau cakil di berbagai sudut lembaga penegak hukum, menambah sulitnya mendapatkan keadilan.
Belum lagi dari masa pelaporan ke polisi atau dimulainya proses pemeriksaan hingga berkas dilimpahkan ke kejaksaan membutuhkan waktu yang tidak pendek. Bisa berbulan-bulan, tergantung kinerja para penyidik. Ditambah lagi berkas kasus dikembalikan oleh penyidik kejaksaan karena dianggap belum lengkap.
Proses selanjutnya adalah pengadilan dengan segala perangkat dan prosedurnya. Hingga hanya individu yang memiliki “stamina” tinggi yang bisa mencari keadilan. Proses yang panjang pasti menyita waktu dan biaya.
Maka, tidak heran apabila para terdakwa miskin tak berkutik ketika duduk di kursi pesakitan. Mereka tidak hanya lemah secara finansial, tetapi juga pengetahuan. Disebabkan hukum acara di pengadilan tentu bukan sesuatu yang mereka pahami, atau bahkan pernah diketahui. Di sisi lain, mustahil para terdakwa menyewa jasa pengacara, karena untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah susah.
Jadi, keadilan hukum, milik siapa? Itu merupakan pertanyaan retoris yang bisa kita jawab sendiri.
Inilah keadilan hukum dalam sistem demokrasi yang hanya memberikan keadilan pada pemilik kuasa, tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Bahkan dapat menjadi alat menekan yang lemah.
Kepastian Hukum dalam Islam
Keputusan pengadilan di dalam Islam bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Karena itu, Islam tidak mengenal peradilan banding, PK, dan sebagainya. Kunci utama keberhasilan pengadilan dalam Islam ialah hukum yang diterapkan merupakan hukum terbaik di segala zaman dan masa, yaitu syariah Islam.
Bukan hukum buatan manusia seperti dalam sistem demokrasi. Sebagaimana firman Allah Swt, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah[5]:50)
Dalam hukum Islam terdapat cita-cita tertinggi manusia, yaitu keadilan. Keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu sendiri dan tak terpisahkan. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunah, baik dalam hukum-hukum hudud (istilah dalam hukum Islam) maupun hukum-hukum lainnya (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar’iyah, h.15)
Sebagai contoh, keadilan yang terjadi pada masa Sayyidina ‘Ali menjadi Khalifah, ada seorang Yahudi yang “memiliki” baju besi sang Khalifah. Karena merasa baju besi itu adalah bajunya, maka Khalifah pun mengajukan kasus tersebut ke pengadilan. Meski kasus itu melibatkan Khalifah, tetapi hakim yang bertugas memutuskan kasus itu tidak berpihak pada Khalifah.
Justru, sang hakim memenangkan orang Yahudi “pemilik” baju besi sang Khalifah. Karena Sayyidina’Ali tidak dapat menghadirkan bukti dalam persidangan. Ini menunjukkan bagaimana sistem peradilan Islam memutuskan sengketa, meski melibatkan orang kuat.
Maka, ketika keadilan Islam diwujudkan dalam masyarakat, implikasinya terwujud cara pandang dan cara perlakuan yang sama terhadap individu-individu masyarakat. Tak mengenal status sosial, didapatkan posisi yang sama dihadapan hukum.
Oleh: Rindyanti Septiana S.Hi
(Pegiat Literasi Islam, Jurnalis Muslimah Medan)