WARGASERUJI – Kalau menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, suntikan dana dari investor ke E-commerce menyumbang defisit perdagangan Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh naiknya impor barang konsumsi yang lebih tinggi dibanding sebelumnya.
Bhima juga mendasarkan pada data asosiasi E-commerce, bahwa 93 barang yang dijual di marketplace adalah barang impor. Artinya, hanya 7 persen produk lokal.
Sedangkan devisa yang diharapkan dari tenaga kerja juga ternyata tak terpenuhi. Menurut Bhima, hal ini disebabkan penyerapan tenaga kerja terlatih dan sangat terlatih mengarah ke sumber daya manusia dari pihak asing, bukan anak negeri. SDM Indonesia ternyata belum siap berkompetisi di dunia teknologi digital.
Di samping itu, investasi dari luar yang disuntikkan ke startup unicorn pasti punya kepentingan pemilik modal. Hal tersebut tentu berhubungan dengan rekanan mereka dari luar Indonesia yang punya produk dengan sasaran pasar Indonesia.
Apa benar E-commerce menyumbang defisit?
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, bisa iya bisa tidak. Katanya, bisa iya kalau bentuknya business to consumer (B to C) dan membawa barang dari luar negeri.
Rudiantara melanjutkan, kalau consumer to consumer (C to C), maka pasti bukan importir. Karena itu, yang disalahkan harusnya para distributor mengapa membawa barang ke Indonesia.
Distributorlah yang perlu diawasi.
Bagi masyarakat, Rudiantara memberi saran agar memilih produk dalam negeri, karena bisa jadi ada dumping produk murah luar negeri.
E-commerce katalis defisit?
Jadi, sepertinya orang Indonesia yang membuat defisit, dan e-commerce sebagai katalisnya?
Orang Indonesia seperti itu karena melalui perjalanan panjang politik dunia. Setelah perang dunia berakhir, kolonialisme diganti dengan perdagangan bebas. Namun, politik kepetingan negara-negara pemenang perang terus dijalankan ke seluruh dunia.
Kemajuan teknologi yang dimiliki negara-negara maju diproteksi dengan hak paten. Karena itulah, tak mungkin negara maju akan tertinggal. Mereka selalu di depan. Tak mungkin mereka membeberkan rahasia dapurnya, kecuali yang telah tertinggal.
Tidak hanya itu. Negara-negara maju sekarang juga menyerang dengan budaya melalui media. Mereka menciptakan trend agar manusia di bumi semakin rakus. Bukankah mudah mengendalikan orang-orang tamak?
Begitulah. E-commerse yang seharusnya netral-netral saja, menjadi pemicu defisit karena seperti memberi jalan orang-orang cinta dunia menuruti hawa nafsunya.