Wakaf ahli adalah wakaf yang manfaatnya diperuntukkan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan wakif. Wakaf ahli memiliki landasan hukum dari hadis Rasulullah ketika memberikan petunjuk kepada Abu Thalhah yang akan mewakafkan harta yang paling dicintainya yaitu kebun kurma “Bairoha” sebagai respon langsung atas turunnya firman Allah QS. Ali Imran ayat 92 yang artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada (kebajikan) yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”. Rasulullah kemudian mengatakan kepada Abu Thalhah agar manfaat harta itu diberikan kepada keluarganya. Selain Abu Thalhah, sahabat Nabi yang lainnya melaksanakan wakaf ahli seperti Abu Bakar yang mewakafkan tanahnya di Mekah untuk anak keturunannya dan Zubair bin Awwam yang mewakafkan rumahnya untuk anak keturunannya.
Wakaf ahli terus dilaksanakan oleh umat Islam, tercatat Imam Syafi’i mewakafkan rumahnya di Fustat (Kairo) untuk anak keturunannya. Pada saat khilafah Utsmaniyah berkuasa di Turki, pada abad 18 tercatat pendapatan wakaf ahli sebesar 14.20% dan pada abad 19 sebesar 16.87% dari total pendapatan wakaf. Di Aleppo antara tahun 1718 dan 1800 dari total 687 wakaf, jumlah wakaf ahli sebanyak 39.3%, wakaf khairi sebanyak 50.7%, dan wakaf musytarak (wakaf ahli dan wakaf khairi/sosial) sebanyak 10%. Bahkan di Mesir wakaf ahli lebih populer dan pada tahun 1928-1929 menghasilkan lebih banyak pendapatan daripada jenis wakaf lainnya.
Meskipun wakaf ahli bagian dari ajaran Islam yang ditetapkan oleh Rasulullah dan sudah banyak praktiknya, namun beberapa negara telah menghapus atau membatalkannya seperti Turki tahun 1926, Lebanon tahaun 1948, Syria tahun 1949, Mesir tahun 1952, Irak tahun 1954, Libya tahun 1974, dan Emirat tahun 1980. Penghapusan wakaf ahli ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya: tekanan dari penjajah, dianggap melanggar hukum waris, buruknya pengelolaan wakaf ahli, dan dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum.
Namun demikian, masih banyak negara yang tetap melegalkan praktik wakaf ahli seperti Kuwait, Singapura, Malaysia, dan Indonesia karena dianggap dapat mewujudkan kemaslahatan yang besar yaitu mendorong orang untuk berwakaf dan memperbanyak harta wakaf. Di Indonesia wakaf ahli diatur dalam Pasal 30 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang wakaf yang berbunyi “Pernyataan kehendak wakif dapat dalam bentuk wakaf khairi atau wakaf ahli. wakaf ahli diperuntukkan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan wakif. Dalam hal sesama kerabat dari wakaf ahli telah punah, maka wakaf ahli karena hukum beralih statusnya menjadi wakaf khairi yang peruntukannya ditetapkan oleh menteri berdasarkan pertimbangan BWI.”
Dalam praktiknya di Indoenesia, terjadi pemahaman yang keliru bahwa jika wakaf dikelola oleh nazhir dari wakif atau keturunannya maka itulah wakaf ahli. Padahal perbedaan wakaf ahli atau wakaf khairi terletak pada penerima manfaatnya (mawquf alayh) bukan pada nazhirnya. Wakaf ahli dapat dikelola oleh nazhir dari wakif atau keturunannya atau dikelola oleh nazhir lainnya yang bukan wakif atau keturunannya tetapi manfaat atau hasil pengelolaannya diperuntukan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan wakif.
Meskipun praktik wakaf ahli sudah sejak lama diperbolehkan di Indonesia, namun tidak pernah ada publikasi data jumlah wakaf ahli. Ketiadaan data jumlah wakaf ahli menurut Dr. Fahruroji Lc.MA disebabkan karena dalam formulir akta ikrar wakaf tidak disebutkan pilihan jenis wakaf apakah wakaf ahli, wakaf khairi, atau wakaf musytarak. Wakaf ahli ditetapkan oleh wakif dengan mengisi kolom “untuk keperluan” misalnya biaya pendidikan anak keturunan wakif. Tentu saja, hanya wakif yang paham saja yang akan menetapkan wakafnya sebagai wakaf ahli dengan mengisi kolom “untuk keperluan” sebagaimana telah disebutkan di atas. Hal ini berbeda jika dalam formulir akta ikrar wakaf tersedia pilihan jenis wakaf: ahli, khairi, atau musytarak, maka wakif dapat menetapkan wakafnya dengan memilih salah satu jenis wakaf dan menetapkan mawquf alayh-nya.
Pada saat penghimpunan wakaf yang masih minim atau belum maksimal seperti sekarang ini, maka untuk memaksimalkan penghimpunan wakaf atau untuk mendorong wakaf-wakaf baru yang produktif, maka wakaf ahli dapat menjadi program unggulan lembaga-lembaga wakaf. Akan tetapi agar manfaat wakafnya tidak hanya dinikmati oleh keturunan wakif namun dapat dinikmati juga oleh masyarakat umum, maka wakaf ahli dapat dikombinasikan dengan wakaf khairi. Dengan demikian melalui instrumen wakaf ahli dan wakaf khairi atau yang disebut dengan wakaf musytarak, seseorang yang memiliki harta dan ingin mewakafkan hartanya untuk kepentingan umat tidak lagi khawatir dengan kesejehteraan keluarga atau keturunannya karena wakaf yang diberikannya tetap dapat memberikan kesejahteraan bagi keluarganya atau keturunannya. Ibadah wakaf dengan pahalanya yang berkelanjutan atau tidak terputus dapat diraih, masyarakat sangat terbantu kesejahteraannya, pada sisi lain keluarga atau keturunan tetap dapat memperoleh hasil atau keuntungan dari harta wakaf, itulah keutamaan wakaf (wakaf musytarak; ahli dan khairi) dibanding ibadah harta lainnya.
Sudahkah kita berwakaf?