SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Suara Akar Rumput

Suara Akar Rumput

Sahabatku seorang sopir truk mengeluh. Truk yang dikemudikannya membawa barang Sumatera Barat – jawa. Dari Sumatera dia bawa sayuran ke Jawa dan sebaliknya dari jawa dia mengangkut barang ekspedisi. Sekali jalan dari Sumatera Barat ke Jakarta, dia dapat upah rp 3 juta. Perjalanan ditempuh 3 hari, bahkan kadang2 sampai 1 minggu jika ada gangguan di penyeberangan Merak Bakauheni. Jika perjalanan lancer, satu kali jalan dia dapat upah Rp 1,5 juta setelah dikeluarkan biaya perjalanan. Dia tidak bisa membayangkan upah bersih yang akan dia terima jika harga BBM naik.

Dari pengalaman yang dialaminya selama ini, setelah kenaikan BBM, upah tidak langsung naik. Sekian bulan dia terima upah sebagaimana sebelum kenaikan BBM. Padahal upah bersih yang dia terima belum dikeluarkan kerusakan yang timbul akibat perjalanan dan biaya beli ban yang langsung naik sebagai akibat dampak kenaikan BBM.

Seorang buruh perkebunan juga berkeluh kesah. “Aku kira kita bukan tambah sejahtera dari waktu kewaktu,” katanya. “Tapi semakin hari hidup ini terasa semakin berat dan sulit. Pengalaman dari setiap terjadi kenaikan BBM, biaya hidup bertambah. Sementara upah yang diterima tidak langsung meningkat. Selama ini ada kebijakan pemerintah untuk menaikkan UMR. Tapi ternyata kenaikan UMR tidak menjadikan kehidupan buruh tambah baik karena semua kebutuhan harga telah terlebih dahulu meroket”.

“Aku bingung,” kata temanku seorang manejer di sebuah perusahaan. “Awal tahun ini aku sudah sesuaikan upah buruh di tempatku dengan UMR. Alhamdulillah semuanya bisa berjalan baik. Tapi setelah mendengar gonjang ganjing kenaikan BBM, aku belum tahu apa yang akan aku lakukan. Jelas nanti akan ada gejolak dari buruh untuk minta kenaikan upah. Sementara dengan kenaikan BBM saja biaya operasional sudah akan melonjak. Bahan baku harganya naik dan otomatis harga penjualanpun naik. Aku kuatir, pelangganku akan berkurang karena daya beli mereka yang menurun, akibatnya omset perusahaanku akan juga turun”.

“Bagaimana dengan tuntutan karyawan yang meminta naik upah karena gaji mereka tidak lagi mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari? Jelas pengeluaranku akan bertambah,” tuturnya dengan wajah bingung.

Sahabat ku yang lain seorang pegawai rendahan dikantornya juga mengeluh. “Setiap hari aku harus beli nasi bungkus untuk makan siang. Masuk kerja jam 7.30 pagi dan pulang jam 5.00 sore menyebabkan aku tidak dapat pulang kerumah untuk makan. Walau ada jam istirahat siang, namun karena tempat tinggalku jauh dari kantor tidak mungkin aku pulang hanya untuk makan. Jika aku pulang toh aku juga harus bayar angkot dan ojek”.

Tahun 1992 aku pernah dapat gaji Rp 250 ribu. Jika dilihat angka terasa sangat kecil. Tapi jika dibandingkan harga emas ternyata harganya sebanding dengan 25 gr emas. Saat sekarang walaupun pendapatanku angkanya besar, tapi jika dibandingkan harga emas, ternyata hanya 12 gram emas, atau turun seperduanya.

Entah sampai kapan keadaan ini akan berlanjut, kita hanya menunggu kebijakan para petinggi yang berkompeten mengambil kebijakan.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER